KYai SUDRUN GUGAT
Kau Kira Kau Segala-galanya Bagi Umat
BIASANYA
Sudrun memang mendadak datang dibilik saya lewat tengah malam, untuk
mengingatkan agar saya jangan sampai tertidur pada saat-saat paling bening
seperti itu. Justru ketika hampir semua orang berbaring lelap, ketika berbagai
jenis kesibukan duniawi sedang beristirahat. Tapi tadi malam, Sudrun hadir
tidak untuk itu. Ia tidak duduk dibibir ranjang dan mengusap jidat saya dengan
wajah tersenyum seperti biasanya, melainkan berdiri di pojok ruang. Tangannya
bersedekap dan matanya melotot merah padam ke arah saya
.
“Masya
Allah…. Ada apa, Drun?” terloncat pertanyaan dari mulut saya.
“Ada
apa… ada apa Ndasmu!”, ia membentak
dengan ketus.
Saya
terhenyak bangun, terbelalak mata saya, karena sungguh-sungguh tidak paham apa
yang terjadi pada sahabat saya ini.
“Kali
ini saya tidak bisa memaafkanmu, saya tidak bersedia memohonkan ampun kepada
Tuhan untukmu!”, katanya lagi. “Dan kalau mungkin nanti Tuhan bertanya kepada
saya apakah sebaiknya kamu dimaafkan, akan saya kemukakan pendapat bahwa kamu
harus membayarkan ongkos yang sangat mahal untuk mungkin memperoleh ampunan.
Soalnya kamu ini main-main…..”
“Apa-apaan
ini? Main-main apa?”, saya memotong.
“Kamu
ini artis, tapi merasa kyai.
Kamu ini pedagang, tapi merasa jadi
juru Dakwah!”.
“Lho-lho….”,
saya semakin tidak paham. “Omong apa ini! Artis bagaimana? Pedaganga
bagaimana??”.
Tapi
rupaya Sudrun tidak peduli pada ketidakpahaman saya. Ia meraih peci saya di
meja dan memasukannya ke tasnya sambil menggerundel. “ Kamu pikir peci ini
tanda kemusliman atau kekiaianmu? Dulu salah seorang tokoh PKI juga tiap hai
pakai peci ini!”.
Kemudian,
surban yang tersampir di sandaran kursi diambilnya pula dengan kasar, ia
lemparkan keatas almari. “Selembar kain yang membuat jutaan orang terserang
takhayul! Sehingga, mereka percaya pada sesuatu yang tidak bisa dipercaya,
sehingga mereka merindukan hal-hal yang sesungguhnya tidak ada!.”
Ia
terus menyerbu dengan gencar.
“Dan,
kamu menikmati takhayul itu. Kamu menikmati kebodohan massal orang-orang yang
mengerumunimu. Hanya dengan uluk salam yang fasih dan kutipan satu dua firman
ditambah kelicinan mengelitik telinga, mereka percaya bahwa kamu adalah
segala-galanya?.’’
Tiba-tiba
satu tangannya memegang dagu saya, mendongakkannya dan menghadapkan air mukanya
yang amat keras ke wajahku. Dan, yang paling celaka dari segala celaka rutin
massal itu, kamu tahu apa? Ialah bahwa kamu sendiri percaya bahwa kamu adalah
segala-galanya bagi umatmu!.
Saya
tertunduk lemas. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti semua ini.
“Kamu
adalah makluk biasa ciptaan Tuhan yang dijunjung-junjung oleh sejuta orang.
Tiap hari dijunjung-jungjung, setiap saat disanjung-sanjung, sehingga kamu
sendiri akhirnya yakin bahwa kamu memang pantas dijunjung-junjung dan
disanjung-sanjung. Sejuta orang memusatkan perhatian dan cintanya kepadamu.
Sejuta orang bersetia kepadamu, seharian
dibawah terik matahari dan guyuran hujan. Sejuta orang beranggapan bahwa
kamu sedemikian pentingnya bagi mereka, hampir melebihi pentingnya TUHAN itu sendiri. Maka, akhirnya kamu sendiri
menomorsatukan dirimu, mengutamakan nama besarmu, melahap posisimu. Kamu lupa
bahwa Kamu tidak penting. Kamu lupa bahwa jangankan kamu, bahkan alam semesta
dan seluruh isinya pun tidak penting, yakni pada saat kamu tenggelam di dalam
kesunyian cintamu yang tunggal dan utuh kepada TUHANmu. Kamu lupa bahwa kamu
ini bukan apa-apa…..”
“Lantas,
kamu pikir apa kamu ini apa-apa?”, kali ini saya membentak.
“Apalagi
aku!”, ia mengejek. “Kamu saja tidak penting, apalagi aku. Justru karena aku
tahu terus-menerus bahwa aku bukan apa-apa, maka aku punya posisi dan kewajiban
mengingatkanmu bahwa kamu ini pun bukan apa-apa. Mulutmu yang manis bukanlah
bikinanmu, Suaramu yang melengking bukanlah produkmu. Retorika dan orasi
romatikmu bukan hasil kehendakmu. Bahkan, kamu tidak pernah sanggup menciptakan
sehelai rambutpun. Jadi kenapa kamu merasa penting, sehingga kamu sedemikian
dahsyat mengomoditisasikan pentingnya kamu di mata berjuta-juta orang itu.
Lantas manajemenmu kacau. Lantas, kamu sanggupi tumpukan keharusan yang tidak
sanggup kamu penuhi. Lantas, terpaksa ingkar janji kepada nasabah-nasabah dan
konsumen-konsumen tertentu disuatu daerah? Apa kamu ini bintang film? Apa kamu
ini produser? Yang memasang broker-broker disetiap propinsi yang memperoleh
laba dari perniagaan keartisanmu??
Sedangkan
pedagang yang asli saja pun tetap setia untuk berdisiplin memasok pesanan-pesanan
yang sudah terkonfirmasi. Kalau toko sudah terlanjur membayarkan uang panjar
dan memesan barang ke sebuah perusahaan pemasok, lantas pada saatnya barang itu
ternyata tidak datang, ia tidak akan menerima alibi “manusia merencanakan tapi Tuhan jua yang menentukan”. Pedagang saja
tidak logis dan etis beralibi demikian, apalagi kamu!” Ia mengepalkan kedua
tangannya. “Aku sudah bosan mendengar berita semacam itu berulang-ulang!”.
Sudrun
terengah-engah sendiri oleh serbua-serbuan gencarnya kepada saya.
KYAI SUDRUN GUGAT by EAN, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar