Kamis, 19 Februari 2015

POJOK CAK NUN : KYai SUDRUN GUGAT

KYai  SUDRUN GUGAT
Kau Kira Kau Segala-galanya Bagi Umat

            BIASANYA Sudrun memang mendadak datang dibilik saya lewat tengah malam, untuk mengingatkan agar saya jangan sampai tertidur pada saat-saat paling bening seperti itu. Justru ketika hampir semua orang berbaring lelap, ketika berbagai jenis kesibukan duniawi sedang beristirahat. Tapi tadi malam, Sudrun hadir tidak untuk itu. Ia tidak duduk dibibir ranjang dan mengusap jidat saya dengan wajah tersenyum seperti biasanya, melainkan berdiri di pojok ruang. Tangannya bersedekap dan matanya melotot merah padam ke arah saya
.
            “Masya Allah…. Ada apa, Drun?” terloncat pertanyaan dari mulut saya.
            “Ada apa… ada apa Ndasmu!”, ia membentak dengan ketus.
            Saya terhenyak bangun, terbelalak mata saya, karena sungguh-sungguh tidak paham apa yang terjadi pada sahabat saya ini.
            “Kali ini saya tidak bisa memaafkanmu, saya tidak bersedia memohonkan ampun kepada Tuhan untukmu!”, katanya lagi. “Dan kalau mungkin nanti Tuhan bertanya kepada saya apakah sebaiknya kamu dimaafkan, akan saya kemukakan pendapat bahwa kamu harus membayarkan ongkos yang sangat mahal untuk mungkin memperoleh ampunan. Soalnya kamu ini main-main…..”
            “Apa-apaan ini? Main-main apa?”, saya memotong.
            “Kamu ini artis, tapi merasa kyai. Kamu ini pedagang, tapi merasa jadi juru Dakwah!”.
            “Lho-lho….”, saya semakin tidak paham. “Omong apa ini! Artis bagaimana? Pedaganga bagaimana??”.
            Tapi rupaya Sudrun tidak peduli pada ketidakpahaman saya. Ia meraih peci saya di meja dan memasukannya ke tasnya sambil menggerundel. “ Kamu pikir peci ini tanda kemusliman atau kekiaianmu? Dulu salah seorang tokoh PKI juga tiap hai pakai peci ini!”.
            Kemudian, surban yang tersampir di sandaran kursi diambilnya pula dengan kasar, ia lemparkan keatas almari. “Selembar kain yang membuat jutaan orang terserang takhayul! Sehingga, mereka percaya pada sesuatu yang tidak bisa dipercaya, sehingga mereka merindukan hal-hal yang sesungguhnya tidak ada!.”
            Ia terus  menyerbu dengan gencar.
            “Dan, kamu menikmati takhayul itu. Kamu menikmati kebodohan massal orang-orang yang mengerumunimu. Hanya dengan uluk salam yang fasih dan kutipan satu dua firman ditambah kelicinan mengelitik telinga, mereka percaya bahwa kamu adalah segala-galanya?.’’

            Tiba-tiba satu tangannya memegang dagu saya, mendongakkannya dan menghadapkan air mukanya yang amat keras ke wajahku. Dan, yang paling celaka dari segala celaka rutin massal itu, kamu tahu apa? Ialah bahwa kamu sendiri percaya bahwa kamu adalah segala-galanya bagi umatmu!.

            Saya tertunduk lemas. Saya sungguh-sungguh tidak mengerti semua ini.
            “Kamu adalah makluk biasa ciptaan Tuhan yang dijunjung-junjung oleh sejuta orang. Tiap hari dijunjung-jungjung, setiap saat disanjung-sanjung, sehingga kamu sendiri akhirnya yakin bahwa kamu memang pantas dijunjung-junjung dan disanjung-sanjung. Sejuta orang memusatkan perhatian dan cintanya kepadamu. Sejuta orang bersetia kepadamu, seharian  dibawah terik matahari dan guyuran hujan. Sejuta orang beranggapan bahwa kamu sedemikian pentingnya bagi mereka, hampir melebihi pentingnya TUHAN  itu sendiri. Maka, akhirnya kamu sendiri menomorsatukan dirimu, mengutamakan nama besarmu, melahap posisimu. Kamu lupa bahwa Kamu tidak penting. Kamu lupa bahwa jangankan kamu, bahkan alam semesta dan seluruh isinya pun tidak penting, yakni pada saat kamu tenggelam di dalam kesunyian cintamu yang tunggal dan utuh kepada TUHANmu. Kamu lupa bahwa kamu ini bukan apa-apa…..”
            “Lantas, kamu pikir apa kamu ini apa-apa?”, kali ini saya membentak.
            “Apalagi aku!”, ia mengejek. “Kamu saja tidak penting, apalagi aku. Justru karena aku tahu terus-menerus bahwa aku bukan apa-apa, maka aku punya posisi dan kewajiban mengingatkanmu bahwa kamu ini pun bukan apa-apa. Mulutmu yang manis bukanlah bikinanmu, Suaramu yang melengking bukanlah produkmu. Retorika dan orasi romatikmu bukan hasil kehendakmu. Bahkan, kamu tidak pernah sanggup menciptakan sehelai rambutpun. Jadi kenapa kamu merasa penting, sehingga kamu sedemikian dahsyat mengomoditisasikan pentingnya kamu di mata berjuta-juta orang itu. Lantas manajemenmu kacau. Lantas, kamu sanggupi tumpukan keharusan yang tidak sanggup kamu penuhi. Lantas, terpaksa ingkar janji kepada nasabah-nasabah dan konsumen-konsumen tertentu disuatu daerah? Apa kamu ini bintang film? Apa kamu ini produser? Yang memasang broker-broker disetiap propinsi yang memperoleh laba dari perniagaan keartisanmu??
            Sedangkan pedagang yang asli saja pun tetap setia untuk berdisiplin memasok pesanan-pesanan yang sudah terkonfirmasi. Kalau toko sudah terlanjur membayarkan uang panjar dan memesan barang ke sebuah perusahaan pemasok, lantas pada saatnya barang itu ternyata tidak datang, ia tidak akan menerima alibi “manusia merencanakan tapi Tuhan jua yang menentukan”. Pedagang saja tidak logis dan etis beralibi demikian, apalagi kamu!” Ia mengepalkan kedua tangannya. “Aku sudah bosan mendengar berita semacam itu berulang-ulang!”.
            Sudrun terengah-engah sendiri oleh serbua-serbuan gencarnya kepada saya.


KYAI SUDRUN GUGAT by EAN, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar