Rabu, 18 Maret 2015

POJOK CAK NUN : TITIK NADIR DEMOKRASI (2)


J
adi inilah hari-hari dimana manusia ter-bumerangi oleh bangunan dan sistem-sistem kekuasaan yang ia ciptakan sendiri. Jikapun seseorang atau sekelompok orang mendiami dan menggenggam pusat kekuasaan, itu sama sekali tidak menjamin bahwa ia atau mereka berkuasa atas sistem yang mereka rekayasa sendiri tersebut. Inilah yang Allah sendiri selalu memperingatkan : manusia menganiaya dirinya sendiri.

      

     Atau bahkan antara "yang berkuasa" dengan "yang dikuasai" bisa terdapat pada sekaligus wilayah 'kaum penindas' maupun daerah 'kaum tertindas'. Lebih dari itu, peta keterkuasaan dan ketertindasan sudah tidak hanya beralamatkan pada geopolitik atau geoekonomi melainkan juga lebih intrinsik,  geopsikologi. Didalam ruang kemanusiaan setiap orang terdapat potensi negara, potensi militer, potensi keberkuasaan, sekaligus potensi rakyat kecil, potensi sipil, potensi ketertindasan. Sebaliknya didalam kosmos negara,  kemanusiaan yang tertekan tidak hanya kemanusiaannya wong cilik, tapi juga mungkin kemanusiaannya seorang jenderal, seorang bupati,  dan lain sebagainya.

        Inilah hari-hari kesunyian manusia dalam negara. Manusia terasing didalam rumah sejarahnya sendiri. Manusia menciptakan penjara-penjara politik yang pengap, penjara-penjara ekonomi yang menyesakkan dan mencambuki punggung, serta penjara-penjara kebudayaan yang wajahnya gemerlap namun membuat lubuk nuraninya lenyap ke ruang-ruang hampa. Manusia menciptakan penjara-penjara sampai akhirnya rekayasa-rekayasa untuk mempertahankan eksistensi penjara-penjara  itu menjelma menjadi penjara tersendiri yang lebih dahsyat kungkungannya.

    Sebagian manusia mengasingkan saudara-saudara sampai mereka sendiri terasing dan kesepian,  serta tidak kunjung bisa menjamin bahwa jika ia melepaskan diri dari kesepian itu keadaan akan lebih baik bagi diri mereka. Manusia terasing dari produk-produk peradabannya sendiri, karena didalam bangunan itu kemanusiaan tidak dinomorsatukan, juga kemanusiaan yang terkandung didalam diri para penguasa itu sendiri. Roda politik menggerakan kereta sejarah ke cakrawala yang sesungguhnya tidak dikenal oleh gagasan dan filosofi awal tatkala ilmu politik di lahirkan. Roda ekonomi dan teknologi menggulirkan zaman ke benua-benua pradaban yang setiap ujungnya membuat rohani manusia-manusia pelakunya kecele.

   Sementara kebudayaan hanya sanggup menyediakan panggung-panggung joget bagi perasaan-perasaan picisan, bagi nafsu-nafsu permukaan yang tidak pernah mempertanyakan dirinya, serta bagi upaya-upaya katarsis kecil-kecilan dan temporal atau kamuflase dan eskapisme yang penuh berisi omong kosong yang dibangga-banggakan. Kebudayaan kontemporer memasang gedung-gedung, pangung-panggung dan layar-layar pertunjukan serta aroma ajojing yang watak dan temanya satu belaka,  yakni proses pendangkalan kemanusiaan.

    Inilah hari-hari dimana titik nadir "demokrasi" telah dicapai dengan amat "sukses", sehingga budaya otoritarianisme semakin tidak bisa dikontrol, tidak saja oleh lembaga-lembaga kebenaran dan moral, tapi juga bahkan tidak terkontrol oleh diri para penguasa itu sendiri. Inilah hari-hari dimana terdapat kerja sama sejarah otomatik antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang tidak berkuasa untuk -sampai batas tertentu- bersama-sama mentradisikan kepatuhan terhadap sistem kedholiman yang diciptakan oleh semua pihak secara dialektis.

   Inilah hari-hari dimana kita bisa dengan gamblang menyaksikan terputus dan terbuntunya tugas kebenaran dunia ilmu dan kaum intelektual dari realitas ke kekuasaan negara. Sehingga kenyataan-kenyataan runtuhnya akal sehat politik dan kebudayaan bukan saja tidak bisa diantisipasi,  melainkan malah terkadang malah di-kukuh-kan oleh lembaga-lembaga ilmu. Karena para pekerja kebenaran ilmu, para pengembara pengetahuan beserta institusinya, sudah terlalu lama tidak berkeberatan untuk bertempat tinggal di propinsi sejarah yang tidak memiliki otonomi nilai dan independensi politik. 


    Inilah hari-hari dimana agama semakin terasing dari pemeluknya. Dimana agama tidak disikapi rendah hati oleh para pelakunya, melainkan dijadikan alat untuk tidak dewasa dan pemarah. Dimana agama tidak dijadikan samudera ilmu, melainkan dijadikan jimat-jimat beku yang disimpan, dielus-elus, namun tidak diperkenalkan kepada hakikat realita dan tidak diterjemahkan kedalam syariat sosial sebagai mana agama itu sendiri menuntutnya. Dimana agama tidak dijadikan sumur kearifan dan kolam kedamaian, melainkan dipandei menjadi pisau tajam untuk mengiris-iris hati dan harga diri sebagai hamba Allah.

     Inilah hari-hari dimana agama tidak digali akurasi moral dan power (akhlâq dan sulthân) -nya demi mengontrol dan membimbing perilaku kekuasaan, sehingga nilai-nilai agama justru banyak tersisakan sisi simboliknya belaka yang dipresentasikan justru pada fungsi legalitas legitimasinya tehadap perilaku kekuasaan belaka.

       Inilah hari-hari semakin tidak berdayanya kaum seniman dan pekerja kebudayaan terhadap proses dekulturisasi budaya kekuasaan,  sehingga mereka sendiri mengalami stress kekaburan diri, degradasi integritas sosial serta hanya terpaku pada khayal-khayal subyektif. Inilah hari-hari dimana kantong-kantong kreativitas dan kemerdekaan mencipta tidak memiliki geografi kongkret, dan hanya terdapa tkandungan hati dan mentalitas masing-masing seniman dan pekerja kebudayaan.

        Inilah hari-hari dimana dua sayap tugas kaum seniman dan pekerja kebudayaan tiba padam titik mutu terrendahnya. Pertama tugas kreativitas kesenian yang semakin tidak mengenali seberapa luas cakrawalanya, seberapa tingkat eksplorasi tematik dan fungsi sosial yang semestinya bisa dijangkau. Kedua tugas para seniman sebagai warga suatu sistem negara, untuk mengamankan propinsi kreativitasnya serta wilayah kemerdekaan seluruh rakyat yang menjadi Ibu kebudayaannya – melalui jaringan perjuangan-perjuangan hukum dan politik- dan bukan hanya melalui himbauan serta tradisi mengemis kemerdekaan.




      Inilah hari-hari semakin tidak jernihnya mata pandang lembaga-lembaga informasi dan komunikasi. Para kuli tinta tidak sempat merenung dan harus berlari cepatdalam keasyikan budaya oplah yang tidak cukup sempat mengontrol diri dengan (karena semakin tipisnya) tradisi kejernihan ilmiah, serta oleh skala prioritas moral dalam politik keredaksiannya. Para jurnalis tidak punya waktu, stamina mental dan kelapangan jiwa untuk selalu mempersegar kembali standart-standart persepsinya terhadap realitas hidup, terhadap ukuran-ukuran kualitas makhluk manusia, terhadap skala moral dan kebenaran nilai-nilai.

    Inilah hari-hari dimana jaringan para pelaku budaya tanding, dimana network kekuatan-kekuatan oposisional dalam sejarah, dimana segmen-segmen gerakan demoralisasi tidak kunjung sanggup menyembuhkan penyakit atau mengurangi kelemahan di dalam diri mereka sendiri. Dimana bukan saja tak kunjung tercapai jaringan kerja sama yang kondusif dan komplementer simbiose mutualistik untuk memproses perbaikan-perbaikan sejarah, melainkan terkadang malah melahirkan langkah-langkah yang counter productive. Dimana sikap prioritas perjuangan tak kunjung disepakati, dimana psikologisme dan egoisme antar kelompok tak kunjung bisa disirnakan, serta dimana langkah-langkah strategis dan taktis tak kunjung dititik-temukan. Dimana "pasukan" demokratisasi masih banyak dipenuhi oleh ideologicalinter prejudice, oleh lack of frust serta oleh terpurukya jaringan pada masalah-masalah –yangs esungguhnya- tidak prinsipal.

  Inilah hari-hari dimana Allah menganugerahimu  kesunyian. Dimana Allah mengujimu dengan hal-hal yang -karena belum tersentuh sungguh-sungguh oleh tangan kejuanganmu-terasa sebagai duka dan kepiluan. Inilah hari-hari dimana kegelapan mengepung demi memberimu ilham tentang cahaya. Dimana keedanan memuncak untuk menawar-nawarkan kepada kewarasan. Dimana kebuntuan-kebuntuan menabrakmu dan mengundangmu untuk menjebolnya. (end)




[©EAN]






"Semoga kita semakin paham makna demokrasi, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari". (HJ)

POJOK CAK NUN : TITIK NADIR DEMOKRASI, Kesunyian Manusia dalam Negara


Y
ang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang rawan-rawannya bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan. Hari-hari penghancur logika, penjungkirbalikan rasionalitas dan peremuk kejujuran. Hari-hari dimana pemgetahuan dan ilmu manusia diselubungi kegelapan, atau sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari dimana manusia, kelompok-kelompok masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah, bukan saja tidak memiliki akurasi, kejernihan dan kejujuran dalam menatap hal-hal didalam kegelapan, tapi lebih dari itu bahkan tidak semakin bisa mereka pilahkan beda antara cahaya dengan kegelapan.

photo by Harjuno
   Inilah hari-hari dimana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan alamat kemanusiaannya, alamat ruhaninya, alamat moralnya, lebih dari itu juga kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan kebudayaan. Inilah hari-hari dimana standard-standart pengetahuan bersifat terlalu cair, dimana pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada dirinya sendiri, dimana kepastian hukum bersifat terlalu gampang dilunakkan dan diubah bentuk maupun subtansinya sehingga juga sangat gampang kehilangan kepastiannya

      Inilah hari-hari dimana makhluk kekal yang bernama rakyat tidak dipandang sebagai Ibu dari siapapun, melainkan lebih diperlakukan sebagai anak-anak kecil, yang sangat banyak diantara mereka diperhatikan hanya sebagai anak tiri yang hampir selalu dianggap potensial untuk bodoh dan bersalah. Inilah hari-hari dimana makhluk yang bernama politik tidak lagi mengenal dirinya sebagai anak dari kedaulatan rakyat .Dimana para pelakunya melakukan perjalanan sejarah yang berpangkal tidak dikepentingan rakyat dan berujung juga tidak di kesejahteraan rakyat, tanpa kondisi itu disadari oleh subjek-subjeknya.

       Para pelaku kedholiman merasa tidak enak terhadap perasaannya sendiri, sehingga mereka berusaha menutup-nutupinya dengan bungkus kemuliaan dan label keluhuran, sampai pada akhirnya mereka kehilangan obyektivitas dan benar-benar percaya bahwa yang mereka lakukan memang bukan kedholiman. Para pekerja kediktatoran bisa meminta bantuan kepada para pekerja ilmu untuk menyakinkan diri mereka bahwa itu bukan kediktatoran. Para penerap monopoli, oligopoli, subyektivisme kekuasaan dan hedonisme keduniaan, bisa dengan gampang membeli "parfum-parfum" untuk mengubah kebusukan untuk menjadi seakan-akan berbau harum, sampai akhirnya mereka yakin bahwa yang terpancar dari diri mereka adalah aroma-aroma harum.

   Orang-(orang) yang paling tidak eling dengan mantap menganjurkan agar orang lain elingOrang-orang merasa menjalankan etos waspada, padahal yang diwaspadainya adalah geliat dan kemungkinan gerak dari musuh-musuh yang mereka ciptakan sendiri : kewaspadaan bukan lagi kehati-hatian berperilaku dihadapan mata pandang TUHAN, moralitas dan nurani kemanusiaan. Adapun- siapakah yang sesungguhnya gila, edan dan sinthing di jaman yang serba kabur dan rabun ini - tatkala hampir setiap 'aku' dan 'kami' telah sedemikian yakin bahwa 'dia', 'kalian' dan 'mereka' yang edan-edan. Sedangkan para 'dia', para 'kamu', para 'kalian' dan 'mereka' adalah 'aku' dan 'kami' juga bagi diri mereka sendiri?

       Inilah hari-hari dimana kejahatan memproduk kebodohan. Dimana kebodohan, yang bekerja sama dengan suatu jenis kepandaian tertentu, mendorong terciptanya kejahatan. Dimana kebodohan berdialektika dengan kejahatan untuk memproses lahir dan berkembangnya destruksi-destruksi sistemik dan struktural atas bumi, nilai-nilai dan manusia.

    Inilah hari-hari sarat penyakit, hari-hari penuh penyakit didalam diri manusia. Penyakit dalam kalbu, yang merusak pikiran, menyelewengkan energi mental dan mengikis moral. Penyakit-penyakit yang kita pelihara, kita suburkan, bahkan kita agung-agungkan, sehingga Tuhan membengkakkannya menjadi gumpalan-gumpalan besar - karena memang demikian sifat dan kesukaanNya

    Penyakit-penyakit dengan omzet ekonomi politik yang tinggi, dengan mobilisasi total dihampir seluruh wilayah penjaringan kekuasaan, dengan penekanan-penekanan konstan agar institusi-institusi informasi dan komunikasi menjadi kepanjangan tangan dari kedholiman, serta kemudian dengan peraihan sejumlah kambing hitam yang periodik, juga dengan sejumlah sesaji zaman yang bukan hanya dilabuh melainkan juga dicacah-cacah secara kolektif dalam suatu atmospher hukum rimba kebudayaan.

      Jalanan zaman yang sedang kita lewati sekarang ini adalah jalanan yang sedang licin-licinnya, namun berserakan batu-batu terjal disana sini. Di tempat-tempat tertentu yang semula tidak licin, hari-hari ini ia ditaburi cairan-cairan penggelincir. Jalanan ini menggelincirkan manusia ke berbagai arah, dimana sebagian dari ketergelinciran itu bersifat global dan kolektif, tapi pada sebagian yang lain ketergelinciran itu dirancang, direkayasa, dengan tingkat kecanggihan strategis dan taktis yang gelap dimata para pakar namun seluruh dunia tak meragukanya.

       Jalanan ini licin tidak hanya bagi siapapun saja yang mendambakan dan mempertahankan tegaknya akal sehat, bagi kejujuran, bagi murninya nurani dan teguhnya prinsip-prinsip nilai, ia juga licin bagi para penguasanya. Para pelaku ketidakjujuran tergelincir untuk sedemikian khusyuk menyakini bahwa yang mereka lakukan adalah kejujuran. Orang-orang yang menghancurkan bangunan moral didalam diri mereka sendiri, tergelincir untuk percaya bahwa yang mereka kerjakan adalah kemuliaan dan budi luhur. Orang- orang yang mengangkat penipu menjadi pahlawan, orang-orang menguburkan para pencinta kebenaran di kuburan busuk, atau sekurangnya melemparinya dengan batu-batu kutukan, yang kemudian disusul oleh ribuan pengutuk lainnya yang mengutuk tanpa kegelisahan untuk bertanya apakah mereka benar-benar memahami apa yang mereka lakukan atau tidak. Orang-orang mem-blow up kilatan emas semu dan mentahayulkannya habis-habisan dalam pesta hedonisme berminggu-minggu, sambil mereka tinggalkan mutiara sejati hanya karena ia terbungkus oleh kekumuhan dan kebersahajaan.

       Inilah hari-hari dimana kekuasaan mustahil untuk dilawan, juga oleh para penyusun dan pelakunya sendiri. Inilah hari-hari dimana raksasa-raksasa 'Cakil' didoakan oleh berjuta orang agar bersegera menusuk perutnya sendiri dan memuntahkan ususnya keluar. Inilah hari-hari dimana Suyudana bukan hanya mengaku Yudhistira, melainkan yakin sepenuhnya bahwa ia memang Yudhistira. Inilah hari-hari dimana para Dursasana menatap wajah mereka sendiri di cermin dan yang nampak adalah Bima. Inilah hari-hari dimana Aswatama yang pengecut mendandani dirinya dengan kostum Arya Setyaki dan membusungkan dadanya karena percaya bahwa mereka sesungguhnya gagah perkasa. Inilah hari-hari dimana Karna-Karna kecil menginterprestasikan tradisi penjilatan sebagai perwujudan hutang budi dan keabsahan nasionalisme. Inilah hari-hari dimana Semar direformasikan dan direfungsionalisasikan dalam peran-peran yang membuat ruh Semar sendiri terpingsan-pingsan karena kebingungan.

        Inilah hari-hari dimana manusia meletakan dunia, kapital, modal dan segala sumber daya di tangan kanan, sementara Tuhan, para Nabi, dan agama digenggam di tangan kiri. Tangan kanan itu mengendalikan dan menjadi pelaku pergerakan-pergerakan utama dalam sejarah, menjadi pusat negara, dan pembangunan, kemudian hanya pada saat-saat terpojok dan terancam saja tangan kiri dibuka, untuk kemudian Tuhan didayagunakan simbol-simbol-Nya untuk menyelamatkan diri.

     Inilah hari-hari dimana manusia membangun kekuasaan dan kekayaan untuk menindas orang lain, untuk kemudian menindas kemanusiaannya sendiri. Karena kemanusiaan tidak hanya bersemayam pada rakyat, pada wong cilik, pada bawahan-bawahan, melainkan juga bertempat tinggal dibadan siapapun saja meskipun ia menduduki singgasana-singgasana sejarah yang tinggi dan mewah.


      Inilah hari-hari dimana konteks yang mempolarisasikan antara "yang berkuasa" dengan "yang dikuasai" sesungguhnya bersifat multidimensional,  sehingga pandangan yang hanya memiliki emphasis perhatian terhadap 'pemerintah dan rakyat ' atau " militer dan sipil" harus memperbaharui dirinya dan memperluas cakrawalanya. Karena didalam tatanan struktural sosial dengan sistem kekuasaan politik yang sangat bersifat kulturalistik,  keterkuasaan atau ketertindasan tidak terletak -sebagaimana yang menjadi isu pokok setiap pemikiran opposisional selama ini- hanya pada makhluk sejarah yang bernama rakyat, wong cilik, petani dan kaum buruh, melainkan bisa juga berlaku pada seseorang prajurit, petugas kepolisian, karyawan sebuah kantor pemerintah, atau bahkanpun seorang Mayor Jenderal.

[@EAN]

Selasa, 17 Maret 2015

POJOK CAK NUN : GELANDANGAN DI KAMPUNG SENDIRI


K
ALAU ANDA punya bakat dan kebiasaan untuk memperdulikan masalah-masalah sosial, dan kalau anda suka menggunakan istilah kaum tertindas, golongan yang dilemahkan atau muztazh'afún -maka salah satu "anggota" dari kelompok yang nasibnya mengenaskan itu, dewasa ini adalah sutradara-sutradara film dan artis tertentu.

photo by harjuno
       Saya pakai "tertentu", karena tentulah tidak semua sutradara film kita nelongso  nasibnya.

     Dunia film selalu membuat kita mengasosiasikan dunia glamor, gemerlap, serba uang dan kemewahan. Tetapi jumat malam lalu di Yogya disamping kiri saya duduk seorang sutradara film yang rambutnya putih panjang, celana jeansnya mungkin sudah dua minggu tak ganti, kaos dan rompinya setara kostum para pekerja kasar. Sementara disebelah kiri saya duduk seorang bintang film yang cukup terkenal yang mukanya berkeringat, rambutnya panjang tampak tak pernah sungguh-sungguh sempat disisir, dan terutama bibirnya yang sama sekali tak pakai gincu dan wajahnya yang tak dipupuri sama sekali.

    Dua orang ini sedang memimpin rombongan ngamen film hasil karya mereka. Layar ditancapkan di halaman sebuah gedung, penonton datang tanpa tiket, kemudian dipersilahkan untuk memberi uang atau tidak. Saya nimbrung disitu karena seusai pemutaran film, diselenggarakan semacam sarasehan kecil dengan penonton dan saya diminta memandu lalu lintas yang berlangsung.

       Mereka berkeliling ngamen sudah setahun lebih. Mereka bekerja keras, bahkan ekstra keras menangani sampai hal-hal yang paling kasar. Dari kota ke kota, dari daerah ke daerah. Melayani, dengan kesabaran tapi juga kadang kegeraman. Berbagai kompleks persoalan dilapangan yang menyangkut penonton, birokrasi, teknis pemutaran film dan apa saja.

       Bahkan bintang film wanita yang nglukruk  di kiri saya beberapa kali "ditawartubuhnya oleh orang yang punya power sebagai bayaran agar ngamen mereka bisa berjalan lancar. Tentu saja adik manis kita ini bukan saja marah besar, tetapi juga menangis sangat keras jiwanya. Belum lagi merasakan pusingnya menghadapi para eksploitator dan manipulator otoritas.

     
   Tidak sedikit pekerja film yang bernasib seperti mereka. Ada yang mandul karena secara keseluruhan industri perfilman nasional memang sedang mengalami titik nadir.  Ada yang karena hegemoni sistem dan birokrasi yang menguntungkan monopoli pedagang dan film asing. Dan secara global dunia film kita memang ibarat benih tanaman yang tidak memperoleh tanah dan rabuk yang memungkinkan ia bertumbuh maksimal. Alhasil film Indonesia dalam berbagai segi, ibarat manusia yang menjadi gelandangan di rumahnya sendiriMisalnya, yang menyangkut faktor kultur politik. Anda tahu kesenian harus jujur : segala persoalan hidup ini diangkat secara apa adanya, adil dan obyektif. Tapi bagaimana mungkin anda membuat film di Indonesia yang menunjukan bahwa -misalnya- polisi, tentara, bupati, gubernur, eksistensi sistem itu sendiri, bisa juga salah?? Tidak bisa. Dalam film Indonesia, penguasa itu can do no wrong.  Penguasa tak mungkin salah, semua polisi dan tentara itu selalu benar. Bahkan tak usah yang penguasa : dokter saja pun pasti baik. Tak ada dokter yang punya kesalahan moral. Yang salah dan harus dikutuk hanya dukun.

          Belum lagi kalau kita berbicara tentang betapa banyaknya realitas masyarakat, negara dan sejarah Indonesia yang tak boleh  diungkapkan dalam film. Sangat banyak kasu ssosial, penyelewengan hukum, kesewenang-wenangan kekuasaan, ketidakadilan perekonomian, dan banyak lagi, yang tak mungkin anda skenariokan untuk pembuatan film.
    
     Kita mengalami suatu watak sejarah dimana seorang bayi dilarang lahir hanya karena diasumsikan akan menimbulkan keresahan sosial. Anda  bersalah tidak hanya kalau anda menciptakan keresahan sosial. Anda sudah bersalah meskipun baru sekedar dicurigai bahwa anda menimbulkan keresahan sosial. Saya berdoa mudah-mudahan kelak anda dilarang tidur karena dikhawatirkan akan ngelindur  dengan membawa pedang dan kemudian ngamuk.

       Anda dilarang makan, karena jangan-jangan gizi yang anda masukkan ke tubuh anda akan anda pakai untuk memukuli tetangga. Anda dilarang kencing karena dikhawatirkan air kencing anda mengandung virus tertentu yang dapat membahayakan lingkungan. Tetapi pada saat yang sama, kalau anda sendiri melontarkan kecurigaan yang sama dan cara berpikir yang sama, maka anda akan dituduh bersalah.

       Dalam situasi seperti itu hanya seorang kreator film yang jenius yang bisa melahirkan film besar. Selebihnya terbagi dua. Yang pertama mengikuti arus pendangkalan manusia dan kebudayaan demi nafkah anak istri. Yang kedua menjadi gelandangan seperti dua orang yang saya dampingi itu.

     Dan nanti, pada FFI 1992, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan bisa diandalkan Secara kualitatif, bahkan secara kuantitatif saja pun, festival itu terasa dipaksakan.

     Namun untunglah, itu sekedar contoh dari titik busuk sejarahyang memang harus kita lalui untuk menuju musim semi baru kehidupan bangsa kita beberapa tahun sesudahnya.


 [© EAN]



Senin, 16 Maret 2015

POJOK CAK NUN : WAK KAJI AWU KOBONG


M
ARKESOT IKUT RAMAI-RAMAI menjemput salah seorang tetangganya yangpulang haji. Semua berseri-seri. Suasana penuh kegembiraan dan kebanggaan. Bahkan lebih dari itu : Ada suatu kebahagiaan yang amat ruhaniah sifatnya.


photo by Harjuno
     Kalau seorang bupati datang ke dusun, atau bahkan kalaupun Presiden George Bush hadir mengunjungi kampung kita, mungkin keramaian yang terjadi akan berpuluh kali lipat. Tapi, suasana bahagia dan bangga ketika seseorang pulang haji, tak bisa dibandingkan dengan apapun.

    Memang, seorang haji adalah seorang "presiden". Presiden bagi dirinya sendiri. Artinya, ia adalah pengelola utama, dirut (direktur utama), puncak administrasi, top manager bagi dirinya sendiri.

    Seorang haji, karena ia sudah haji, telah menggenggam kendali diri sekukuh-kukuhnya. Iara'un,  pemimpin, dalam arti yang sejati. Bukan pemimpin yang memerintah dan melarang-larang orang lain : pemimpin yang sejati adalah manusia yang sanggup memerintah segala segi kehidupan pribadinya sendiri.

  Ia mudabbir agung. Pengurus "organisasi tubuh dan jiwa" dirinya. Ia muhawwil  yang elegan. Pengelola segala mekanisme hubungan antara fungsi dirinya dan lingkungan sosialnya.

    Demikianlah, maka tetangga Markesot itu betul-betul telah menjadi seorang raja yang sebenarnya.

   Bukanlah raja kalau seseorang justru hanya bisa memerintah, melarang atau tergantung pada pelayanan orang lain atasnya.... Ia lebih tepat disebut budak. Budak dari faktor-faktor yang digelantunginya. Seorang raja adalah pemancar cahaya Allah : kepada hamparan bumi kepribadiannya sendiri, serta kepada galaksi kehidupan orang-orang lain yang menjadi lingkungan hidupnya.

     Maka, pak Haji baru itu disambut dengan penuh tangis bahagia dan rasa haru yang hanya bisa dibandingkan dengan -misalnya- kelahiran seorang bayi. Suasana menyambut haji bagaikan pantulan dari suasana ruhaniah  kaum Anshar di Medinah ketika menyongsong rembulan dari Mekkah yang bernama Muhammad. Orang-orang bermain rebana, derap kaki mereka yang berbaris bagai bunyi para malaikat yang mengantarkan umat manusia memasuki gerbang sorga, nuansa nyanyian mereka bagaikan lagu burung-burung Ababil yang begitu indahnya.

     PakHaji baru dikampung Markesot itu nama aslinya berbunyi kata-kata jawa. Tapi ia kini menjadi bernama Haji Abu Bakar, tanpa Ashishiddiqmeskipun tak berarti Haji baru itu tak pantas di sebut " si Jujur Hati".

     Beberapa anak muda dengan gurauan nakal "mengubah" atau menerjemahkan " nama itu menjadi Wak Kaji Awu Kobong. Tentu saja itu terjemahan ngawur, tetapi sama sekali tidak menurunkan perbawanya. Itu hanya guyonan model Arek Suroboyo. Persis ketika dulu tetangga Markesot  yang lain naik haji karena ingin sembuh dari sakit gatal yang menahun, tiba di rumah ia disebut HAJI GATEL.

     Tetapi tentu saja berbed dengan haji Tuyul :  yang sanggup membiayai haji gara-gara ia bisa mengumpulkan uang melalui tuyul-tuyul sebagai aparatnya.

    Di rumah Wak Haji Awu Kobong telah disediakan tata ruang yang bagaikan Balairung Kerajaan Rochani, Pak Haji didudukkan di  pusat ruang yang penuh hiasan dan wewangian. Satu persatu orang-orang menyalaminya. KemudiAn mulai pak Haji membuka mulut, mengisahkan secara detil semua pengalamannya selama berhaji. Terkadang ia tertawa terkekeh-kekeh, pada saat lain ia menangis atau setidaknya mbrebes mili.

     "Ketika harus berdesak-desakan dengan orang-orang negro, orang hitam dari Afrika, saya merasa jijik," kata beliau, "sehingga saya selalu mencari ruang untuk menghindar dari keringat dan bau tubuh mereka. Tapi kemudian, tahu apa yang terjadi? Saya justru tertimbun oleh kerumunan orang-orang hitam itu. Semua yang di sekitar saya adalah hitam dan bau!".

     Pak Haji kemudian bercerita bahwa ia memohon ampun kepada Allah. "Ampuni hamba ,ya Allah! Hamba telah membeda-bedakan manusia. Ampunilah hamba!".

    Segera kemudian, sesudah memohon ampun dan didalam hati ia memutuskan untuk iklas bergesekan dengan apapun dan siapa pun, perlahan-lahan ia lantas di kepung justru oleh orang-orang putih, bersih dan wangi.

     "Bahkan beberapa saat kemudian, " katanya, "ada sesuatu yang empuk menimpa lengan saya bagian belakang!" Pak Haji tertawa agak kemalu-maluan, " Tahu siapa? Ternyata ada banyak gadis Arab yang manis-manis, montok-montok, disekitar saya....." he...hehe..

   Semua yang mendengarkan tertawa. "Rupanya", kata Pak Haji lagi,"kalau kita membenci sesuatu, sesuatu itu justru mendatangi kita. Kalau kita mengiklaskan segala sesuatu, yang terbaiklah yang datang kepada kta!".

     Banyaklah yang diceritakan oleh Wak Kaji Awu Kobong. Kejadian - kejadian aneh dialami oleh banyak sekali pelaku haji. Ada yang ketemu almarhum ayahnya. Ada yang dibisiki entah oleh apa, tapi jelas sekali dan itu amat tepat bagi persoalan kehidupannya. Atau macam-macam lagi.

     Ketika manasik, ada seorang anak muda yang rupanya sama sekali tak kenal syariat. Tak bisa baca doa apapun. Tak bisa mengucapkan satu kalimat arab pun. Maka oleh rombongan, ia diajari supaya menghapalkan, "Rabbana atina fiddunya hasanah...Dan seterusnya." Tapi alangkah susahnya.

   Sehingga, seseorang ambil jalan pragmatis untuk mengajarinya, "Rebana... Rebana....,"katanya kepada si anak muda, sambil memberi kode seolah-olah ia menabuh rebana.

     "Atina......atina....," sambil menunjukkan dadanya. Dalam bahasa Sunda, "atina" artinya "hatinya".

  "Duniaaa.....duniaa..," sambil mengembangkan kedua tangannya menerangkan dunia. "Hasaanaa..... Sanaa......, " sambil menunjuk ke sana, ke suatu tempat. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Setiap kata dalam doa itu disimbolkan dengan segamblang-gamblangnya, dengan harapan si anak muda akan gampang menghafalkannya.

     Namun, ketika saatnya ia harus mengucapkan -mungkin karena grogi-  yang keluar dari mulutnya malah "Tamborin..... ".

      Padahal, yang ingin ia ucapkanadalah "Rebana.....".

     Macam-macamlah. Tapi apapun yang terjadi, yang jauh lebih inti adalah bagaimana sikap rohani anak muda itu. Bunyi hatinya jauh lebih jujur daripada bunyi mulutnya. Dalam segala peradaban, mulut hobinya berbohong, tapi hati tak pernah berbohong.

     Wak Kaji Awu Kobong sampai sore bercerita tak habis-habisnya. Ia sungguh -sungguh menjadi baru. Pakai jubah putih, topi putih, wajahnya jauh lebih ceria. Caranya menggerakkan tangan sudah lain dari sebelum ia naik haji. Mimik mukanya juga berbeda. Alhasil, acting-nya berubah.

     Haji di lambangkan oleh air madu, sementara sholat oleh air hujan, zakat oleh air susu, dan puasa oleh arak. Masing-masing dengan filosofinya sendiri-sendiri. Akan hal lambang madu, jelas bagi kita semua : ialah minuman yang paling bergizi, paling berfungsi.

   Memang haji itu madu.

  Haji itu puncak dari syariat. Kalau sholat sudah prima, puasa sudah intensif, zakat sudah seperti perkebunan subur : seseorang akan mencapai haji. Maka, jangan heran kalau seorang haji menunjukkan tingkat mutu kepribadian yang tinggi.


    Tapi juga, tak usah heran kalau masih cukup banyak haji yang kurang haji. Haji yang masih masih korupsi,  masih menyembah  berhala. Haji yang bahkan tak menunjukkan kematangan atau kekhusyukkan apa-apa.


     Secara kualitatif, ada haji yang belum haji, sementara ada orang belum haji yang kualitasnya sudah "haji". 

photo by harjuno

© [EAN]