Rabu, 11 Maret 2015

Pojok CAK NUN : SURAT KEPADA KANJENG NABI : Sebuah Ancangan

U
MAT ISLAM dimuka bumi, dari abad ke abad, dari era ke era serta dari periode ke periode kehidupannya, telah ribuan kali atau bahkan ratusan ribu kali – atau entahlah berapa persisnya- memperingati kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW, yang mereka junjung tinggi dan mereka dekap intim dalam hati karena kemuliannya.

       Setiap masyarakat muslim. Setiap kelompok, serta setiap orang mengagung-agungkannya ratusan ribu kali. Muhammad tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Muhammad dipelihara namanya di zaman orang bertani, serta di zaman ultramodern ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi dijadikan "dewa".

         Muhammad tidak pernah disebut "kuno", meski kita punya mercedes paling muktahir, super komputer serta segala jenis teknologi yang paling dibangga-banggakan. Muhammad tidak pernah dikategorikan sebagai manusia masa silam dengan muatan nilai-nilai dekaden, meski kita memiliki apapun yang melambangkan pencapaian-pencapaian kontemporer.




Tak pernah mati

   Muhammad senantiasa hadir kembali. Muhammad senantiasa lahir dan lahir kembali : memunculkan " diri"nya dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayaan serta dalam setiap produk dan ungkapan kemajuan.

    Muhammad tidak pernah mati, kecuali darah daging dan tulang belulangnya yang telah manunggal dengan tanah. Badan Muhammad telah ber-tauhid dengan hakikatnya, yakni tanah itu. Muhammad yang hidup sekarang bukan lagi jasmani itu, karena telah ditransformasikan ke dalam wujud-wujud yang lebih lembut dan hakiki.

     Setiap transformasi selalu berlangsung dengan pengurangan,  penambahan, perubahan  dan pergeseran. Darah daging Muhammad tidak terbawa sampai kepada kita sekarang, apalagi ke negeri  Allah yang hakiki kelak.

       Muhammad yang abadi, yang mengabdi atau yang menjadi keabadian dan hari-hari ini melintasi kehidupan kita terbuat dari segala yang dia lakukannya semasa jasmaninya hidup. Wajah Muhammad kini terdiri atas seluruh nilai perilakunya dulu. Cahaya wajah itu terbuat dari sujud-sujud sembayangnya.

      Badannya terbikin dari amal bijak selama terlibat menghancurkan kebudayaan jahiliah. Kaki dan tangannya dirakit dari pahala dan jasa sosial yang kelak menolongnya memperoleh tempat paling khusus di sorga "jannatunna'im".

      Demikian juga kita kelak. Daging kita akan rapuh, kulit mengeriput, rambut memutih dan seluruh badan kita akan musnah menjadi debu material hina. "Badan"dan identitas kita selanjutnya dibentuk oleh sistem assembling dari pilihan-pilihan kelakuan kita, dari kepribadian dan sikap sosial kita, dari barang-barang yang kita amalkan, atau kita korup, dari segala sesuatu yang kita islamkan atau kita curi.

         Teologi islam telah memandu kita bagaimana memilih assembling diri untuk masa depan yang terbaik dan termulia. Filosofi islam membimbing kita untuk merancang jenis kemakhlukan macam apa kita akan menjadi kelak. Dan kosmologi islam memberi pilihan kepada kita, apakah kita akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi energi yang gentayangan jadi hantu dan klenik, atau menjadi api dan kayu bakar penyiksa diri, atau alhamdulillah kita lulus menempuh transformasi dari materi ke enegi ke cahaya.

      Jika kita menjadi cahaya, - karena bersih dari tindakan korupsi ekonomi, penindasan politik, kecurangan sosial, penyelewengan hukum serta maksiat kebudayaan- maka Insya Allah itulah yang bernama tauhid. Menyatu dengan Allah : Allah nurussamawati wal 'ardh.

          Allah itu cahaya langit dan bumi. Bukan Allah mencahayai atau menyinari langit dan bumi. Kita bergabung menjadi "Muhammad otentik, Muhammad hakiki": Nur Muhammad. Cahaya yang terpuji. Asal-usul inisiatif penciptaan oleh Allah.

      Cahaya cikal bakal yang pada abad ke 13 dimanifestasikan melalui seorang laki-laki yang progresif menentang arus, menjajakan tauhid ditengah-tengah berhala, yang bersedia mengenggam pedang untuk mempertahankan diri dan menegakkan nilai dan yang bersedia tidur beralaskan daun korma. Yang kalau kelaparan dia merasa pakewuh untuk meminta sehingga mengganjal perutnya dengan batu dan yang mempunyai bargaining power untuk berkuasa namun memilih hidup melarat.

        Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apapun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tidak bisa dibandingkan karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.

       Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kamitidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana dan kasidah-kasidah. Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.

     Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ketempat-tempat rekreasi.

       Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah - karena AlIah sendiri beserta malakaitNya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.

        Seperti juga kalau kami bersembayang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan, kerinduan atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.

      Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu.  Kami masih takut dan terus menerus tergantung kepada kekuasaan-kekuasaan kecil disekitar kami. Kami kecut kepada atasan. Kami menunduk kepada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan.

    Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali. Tetapi lihatlah : kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tak terlihat out put personal maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsistenan. Acara peringkatan Maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi. (bersambung).


©[EAN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar