| 
M | 
ARKESOT
IKUT RAMAI-RAMAI menjemput
salah seorang tetangganya yangpulang haji. Semua berseri-seri. Suasana penuh
kegembiraan dan kebanggaan. Bahkan lebih dari itu : Ada suatu kebahagiaan yang
amat ruhaniah sifatnya.
|  | 
| photo by Harjuno | 
     Kalau seorang
bupati datang ke dusun, atau bahkan kalaupun Presiden George Bush hadir
mengunjungi kampung kita, mungkin keramaian yang terjadi akan berpuluh
kali lipat. Tapi, suasana bahagia dan bangga ketika seseorang pulang haji, tak
bisa dibandingkan dengan apapun.
    Memang, seorang
haji adalah seorang "presiden". Presiden bagi dirinya sendiri.
Artinya, ia adalah pengelola utama, dirut (direktur utama), puncak
administrasi, top manager bagi dirinya sendiri.
    Seorang haji,
karena ia sudah haji, telah menggenggam kendali diri sekukuh-kukuhnya. Iara'un, 
pemimpin, dalam
arti yang sejati. Bukan pemimpin yang memerintah dan melarang-larang orang lain
: pemimpin yang sejati adalah manusia yang sanggup memerintah segala segi
kehidupan pribadinya sendiri.
  Ia mudabbir agung. Pengurus "organisasi tubuh dan
jiwa" dirinya. Ia muhawwil  yang elegan. Pengelola segala mekanisme hubungan antara
fungsi dirinya dan lingkungan sosialnya.
    Demikianlah, maka
tetangga Markesot itu betul-betul telah menjadi seorang raja yang sebenarnya.
   Bukanlah raja
kalau seseorang justru hanya bisa memerintah, melarang atau tergantung pada
pelayanan orang lain atasnya.... Ia lebih tepat disebut budak. Budak dari
faktor-faktor yang digelantunginya. Seorang raja adalah pemancar cahaya Allah : kepada hamparan bumi kepribadiannya sendiri, serta kepada galaksi kehidupan
orang-orang lain yang menjadi lingkungan hidupnya.
     Maka, pak Haji
baru itu disambut dengan penuh tangis bahagia dan rasa haru yang hanya bisa
dibandingkan dengan -misalnya- kelahiran seorang bayi. Suasana menyambut haji
bagaikan pantulan dari suasana ruhaniah 
kaum Anshar di Medinah ketika menyongsong rembulan dari Mekkah yang
bernama Muhammad. Orang-orang bermain rebana, derap kaki mereka yang berbaris
bagai bunyi para malaikat yang mengantarkan umat manusia memasuki gerbang sorga,
nuansa nyanyian mereka bagaikan lagu burung-burung Ababil yang begitu indahnya.
     PakHaji baru
dikampung Markesot itu nama aslinya berbunyi kata-kata jawa. Tapi ia kini
menjadi bernama Haji Abu Bakar, tanpa Ashishiddiq, meskipun tak berarti Haji baru itu tak pantas di
sebut " si Jujur Hati".
     Beberapa anak
muda dengan gurauan nakal "mengubah" atau menerjemahkan " nama
itu menjadi Wak Kaji Awu Kobong. Tentu saja itu terjemahan ngawur, tetapi sama
sekali tidak menurunkan perbawanya. Itu hanya guyonan model Arek Suroboyo. Persis
ketika dulu tetangga Markesot  yang lain
naik haji karena ingin sembuh dari sakit gatal yang menahun, tiba di rumah ia
disebut HAJI GATEL.
     Tetapi tentu saja
berbed dengan haji Tuyul :  yang sanggup
membiayai haji gara-gara ia bisa mengumpulkan uang melalui tuyul-tuyul sebagai
aparatnya.
    Di rumah Wak Haji
Awu Kobong telah disediakan tata ruang yang bagaikan Balairung Kerajaan Rochani,
Pak Haji didudukkan di  pusat ruang yang
penuh hiasan dan wewangian. Satu persatu orang-orang menyalaminya. KemudiAn
mulai pak Haji membuka mulut, mengisahkan secara detil semua pengalamannya
selama berhaji. Terkadang ia tertawa terkekeh-kekeh, pada saat lain ia menangis
atau setidaknya mbrebes
mili.
     "Ketika
harus berdesak-desakan dengan orang-orang negro, orang hitam dari Afrika, saya merasa jijik," kata beliau, "sehingga saya selalu mencari ruang
untuk menghindar dari keringat dan bau tubuh mereka. Tapi kemudian, tahu apa yang
terjadi? Saya justru tertimbun oleh kerumunan orang-orang hitam itu. Semua yang
di sekitar saya adalah hitam dan bau!".
     Pak Haji kemudian
bercerita bahwa ia memohon ampun kepada Allah. "Ampuni hamba ,ya Allah! Hamba
telah membeda-bedakan manusia. Ampunilah hamba!".
    Segera kemudian,
sesudah memohon ampun dan didalam hati ia memutuskan untuk iklas bergesekan dengan
apapun dan siapa pun, perlahan-lahan ia lantas di kepung justru oleh orang-orang
putih, bersih dan wangi.
     "Bahkan
beberapa saat kemudian, " katanya, "ada sesuatu yang empuk menimpa
lengan saya bagian belakang!" Pak Haji tertawa agak kemalu-maluan, "
Tahu siapa? Ternyata ada banyak gadis Arab yang manis-manis, montok-montok,
disekitar saya....." he...hehe..
   Semua yang
mendengarkan tertawa. "Rupanya", kata Pak Haji lagi,"kalau
kita membenci sesuatu, sesuatu itu justru mendatangi kita. Kalau kita
mengiklaskan segala sesuatu, yang terbaiklah yang datang kepada kta!".
     Banyaklah yang
diceritakan oleh Wak Kaji Awu Kobong. Kejadian - kejadian aneh dialami oleh
banyak sekali pelaku haji. Ada yang ketemu almarhum ayahnya. Ada yang dibisiki
entah oleh apa, tapi jelas sekali dan itu amat tepat bagi persoalan
kehidupannya. Atau macam-macam lagi.
     Ketika manasik,
ada seorang anak muda yang rupanya sama sekali tak kenal syariat. Tak bisa baca
doa apapun. Tak bisa mengucapkan satu kalimat arab pun. Maka oleh rombongan, ia
diajari supaya menghapalkan, "Rabbana
atina fiddunya hasanah...Dan seterusnya."
Tapi alangkah susahnya.
   Sehingga,
seseorang ambil jalan pragmatis untuk mengajarinya, "Rebana...
Rebana....,"katanya kepada si anak muda, sambil memberi kode seolah-olah
ia menabuh rebana.
     "Atina......atina....,"
sambil menunjukkan dadanya. Dalam bahasa Sunda, "atina"
artinya "hatinya".
  "Duniaaa.....duniaa..,"
sambil mengembangkan kedua tangannya menerangkan dunia. "Hasaanaa.....
Sanaa......, " sambil menunjuk ke sana, ke suatu tempat. Dan
seterusnya. Dan seterusnya. Setiap kata dalam doa itu disimbolkan dengan
segamblang-gamblangnya, dengan harapan si anak muda akan gampang menghafalkannya.
     Namun,
ketika saatnya ia harus mengucapkan -mungkin karena grogi-  yang keluar dari mulutnya
malah "Tamborin..... ".
      Padahal,
yang ingin ia ucapkanadalah
"Rebana.....".
     Macam-macamlah.
Tapi apapun yang terjadi, yang jauh lebih inti adalah bagaimana sikap rohani
anak muda itu. Bunyi hatinya jauh lebih jujur daripada bunyi mulutnya. Dalam
segala peradaban, mulut hobinya berbohong, tapi hati tak pernah berbohong.
     Wak Kaji Awu
Kobong sampai sore bercerita tak habis-habisnya. Ia sungguh -sungguh menjadi
baru. Pakai jubah putih, topi putih, wajahnya jauh lebih ceria.
Caranya menggerakkan tangan sudah lain dari sebelum ia naik haji. Mimik mukanya
juga berbeda. Alhasil, acting-nya berubah.
     Haji di
lambangkan oleh air madu, sementara sholat oleh air hujan, zakat oleh air
susu, dan puasa oleh arak. Masing-masing dengan filosofinya sendiri-sendiri. Akan
hal lambang madu, jelas bagi kita semua : ialah minuman yang paling bergizi,
paling berfungsi.
   Memang haji itu
madu.
  Haji itu puncak
dari syariat. Kalau sholat sudah prima, puasa sudah intensif, zakat
sudah seperti perkebunan subur : seseorang akan mencapai haji. Maka, jangan
heran kalau seorang haji menunjukkan tingkat mutu kepribadian yang tinggi.
    Tapi juga, tak
usah heran kalau masih cukup banyak haji yang kurang haji. Haji yang masih masih
korupsi,  masih menyembah  berhala. Haji yang bahkan tak
menunjukkan kematangan atau kekhusyukkan apa-apa.
     Secara
kualitatif, ada haji yang belum haji, sementara ada orang belum haji
yang kualitasnya sudah "haji". 


 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar