Senin, 16 Maret 2015

POJOK CAK NUN : WAK KAJI AWU KOBONG


M
ARKESOT IKUT RAMAI-RAMAI menjemput salah seorang tetangganya yangpulang haji. Semua berseri-seri. Suasana penuh kegembiraan dan kebanggaan. Bahkan lebih dari itu : Ada suatu kebahagiaan yang amat ruhaniah sifatnya.


photo by Harjuno
     Kalau seorang bupati datang ke dusun, atau bahkan kalaupun Presiden George Bush hadir mengunjungi kampung kita, mungkin keramaian yang terjadi akan berpuluh kali lipat. Tapi, suasana bahagia dan bangga ketika seseorang pulang haji, tak bisa dibandingkan dengan apapun.

    Memang, seorang haji adalah seorang "presiden". Presiden bagi dirinya sendiri. Artinya, ia adalah pengelola utama, dirut (direktur utama), puncak administrasi, top manager bagi dirinya sendiri.

    Seorang haji, karena ia sudah haji, telah menggenggam kendali diri sekukuh-kukuhnya. Iara'un,  pemimpin, dalam arti yang sejati. Bukan pemimpin yang memerintah dan melarang-larang orang lain : pemimpin yang sejati adalah manusia yang sanggup memerintah segala segi kehidupan pribadinya sendiri.

  Ia mudabbir agung. Pengurus "organisasi tubuh dan jiwa" dirinya. Ia muhawwil  yang elegan. Pengelola segala mekanisme hubungan antara fungsi dirinya dan lingkungan sosialnya.

    Demikianlah, maka tetangga Markesot itu betul-betul telah menjadi seorang raja yang sebenarnya.

   Bukanlah raja kalau seseorang justru hanya bisa memerintah, melarang atau tergantung pada pelayanan orang lain atasnya.... Ia lebih tepat disebut budak. Budak dari faktor-faktor yang digelantunginya. Seorang raja adalah pemancar cahaya Allah : kepada hamparan bumi kepribadiannya sendiri, serta kepada galaksi kehidupan orang-orang lain yang menjadi lingkungan hidupnya.

     Maka, pak Haji baru itu disambut dengan penuh tangis bahagia dan rasa haru yang hanya bisa dibandingkan dengan -misalnya- kelahiran seorang bayi. Suasana menyambut haji bagaikan pantulan dari suasana ruhaniah  kaum Anshar di Medinah ketika menyongsong rembulan dari Mekkah yang bernama Muhammad. Orang-orang bermain rebana, derap kaki mereka yang berbaris bagai bunyi para malaikat yang mengantarkan umat manusia memasuki gerbang sorga, nuansa nyanyian mereka bagaikan lagu burung-burung Ababil yang begitu indahnya.

     PakHaji baru dikampung Markesot itu nama aslinya berbunyi kata-kata jawa. Tapi ia kini menjadi bernama Haji Abu Bakar, tanpa Ashishiddiqmeskipun tak berarti Haji baru itu tak pantas di sebut " si Jujur Hati".

     Beberapa anak muda dengan gurauan nakal "mengubah" atau menerjemahkan " nama itu menjadi Wak Kaji Awu Kobong. Tentu saja itu terjemahan ngawur, tetapi sama sekali tidak menurunkan perbawanya. Itu hanya guyonan model Arek Suroboyo. Persis ketika dulu tetangga Markesot  yang lain naik haji karena ingin sembuh dari sakit gatal yang menahun, tiba di rumah ia disebut HAJI GATEL.

     Tetapi tentu saja berbed dengan haji Tuyul :  yang sanggup membiayai haji gara-gara ia bisa mengumpulkan uang melalui tuyul-tuyul sebagai aparatnya.

    Di rumah Wak Haji Awu Kobong telah disediakan tata ruang yang bagaikan Balairung Kerajaan Rochani, Pak Haji didudukkan di  pusat ruang yang penuh hiasan dan wewangian. Satu persatu orang-orang menyalaminya. KemudiAn mulai pak Haji membuka mulut, mengisahkan secara detil semua pengalamannya selama berhaji. Terkadang ia tertawa terkekeh-kekeh, pada saat lain ia menangis atau setidaknya mbrebes mili.

     "Ketika harus berdesak-desakan dengan orang-orang negro, orang hitam dari Afrika, saya merasa jijik," kata beliau, "sehingga saya selalu mencari ruang untuk menghindar dari keringat dan bau tubuh mereka. Tapi kemudian, tahu apa yang terjadi? Saya justru tertimbun oleh kerumunan orang-orang hitam itu. Semua yang di sekitar saya adalah hitam dan bau!".

     Pak Haji kemudian bercerita bahwa ia memohon ampun kepada Allah. "Ampuni hamba ,ya Allah! Hamba telah membeda-bedakan manusia. Ampunilah hamba!".

    Segera kemudian, sesudah memohon ampun dan didalam hati ia memutuskan untuk iklas bergesekan dengan apapun dan siapa pun, perlahan-lahan ia lantas di kepung justru oleh orang-orang putih, bersih dan wangi.

     "Bahkan beberapa saat kemudian, " katanya, "ada sesuatu yang empuk menimpa lengan saya bagian belakang!" Pak Haji tertawa agak kemalu-maluan, " Tahu siapa? Ternyata ada banyak gadis Arab yang manis-manis, montok-montok, disekitar saya....." he...hehe..

   Semua yang mendengarkan tertawa. "Rupanya", kata Pak Haji lagi,"kalau kita membenci sesuatu, sesuatu itu justru mendatangi kita. Kalau kita mengiklaskan segala sesuatu, yang terbaiklah yang datang kepada kta!".

     Banyaklah yang diceritakan oleh Wak Kaji Awu Kobong. Kejadian - kejadian aneh dialami oleh banyak sekali pelaku haji. Ada yang ketemu almarhum ayahnya. Ada yang dibisiki entah oleh apa, tapi jelas sekali dan itu amat tepat bagi persoalan kehidupannya. Atau macam-macam lagi.

     Ketika manasik, ada seorang anak muda yang rupanya sama sekali tak kenal syariat. Tak bisa baca doa apapun. Tak bisa mengucapkan satu kalimat arab pun. Maka oleh rombongan, ia diajari supaya menghapalkan, "Rabbana atina fiddunya hasanah...Dan seterusnya." Tapi alangkah susahnya.

   Sehingga, seseorang ambil jalan pragmatis untuk mengajarinya, "Rebana... Rebana....,"katanya kepada si anak muda, sambil memberi kode seolah-olah ia menabuh rebana.

     "Atina......atina....," sambil menunjukkan dadanya. Dalam bahasa Sunda, "atina" artinya "hatinya".

  "Duniaaa.....duniaa..," sambil mengembangkan kedua tangannya menerangkan dunia. "Hasaanaa..... Sanaa......, " sambil menunjuk ke sana, ke suatu tempat. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Setiap kata dalam doa itu disimbolkan dengan segamblang-gamblangnya, dengan harapan si anak muda akan gampang menghafalkannya.

     Namun, ketika saatnya ia harus mengucapkan -mungkin karena grogi-  yang keluar dari mulutnya malah "Tamborin..... ".

      Padahal, yang ingin ia ucapkanadalah "Rebana.....".

     Macam-macamlah. Tapi apapun yang terjadi, yang jauh lebih inti adalah bagaimana sikap rohani anak muda itu. Bunyi hatinya jauh lebih jujur daripada bunyi mulutnya. Dalam segala peradaban, mulut hobinya berbohong, tapi hati tak pernah berbohong.

     Wak Kaji Awu Kobong sampai sore bercerita tak habis-habisnya. Ia sungguh -sungguh menjadi baru. Pakai jubah putih, topi putih, wajahnya jauh lebih ceria. Caranya menggerakkan tangan sudah lain dari sebelum ia naik haji. Mimik mukanya juga berbeda. Alhasil, acting-nya berubah.

     Haji di lambangkan oleh air madu, sementara sholat oleh air hujan, zakat oleh air susu, dan puasa oleh arak. Masing-masing dengan filosofinya sendiri-sendiri. Akan hal lambang madu, jelas bagi kita semua : ialah minuman yang paling bergizi, paling berfungsi.

   Memang haji itu madu.

  Haji itu puncak dari syariat. Kalau sholat sudah prima, puasa sudah intensif, zakat sudah seperti perkebunan subur : seseorang akan mencapai haji. Maka, jangan heran kalau seorang haji menunjukkan tingkat mutu kepribadian yang tinggi.


    Tapi juga, tak usah heran kalau masih cukup banyak haji yang kurang haji. Haji yang masih masih korupsi,  masih menyembah  berhala. Haji yang bahkan tak menunjukkan kematangan atau kekhusyukkan apa-apa.


     Secara kualitatif, ada haji yang belum haji, sementara ada orang belum haji yang kualitasnya sudah "haji". 

photo by harjuno

© [EAN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar