Rabu, 11 Maret 2015

POJOK CAK NUN : Sepak bola Kultural (2)

    
M
odernisasi dan profesional sepak bola Indonesia tidak sejak semula diberangkatkan dari konsepsi ilmiah dan matang. Itu menyangkut faktor internal, dari kegamangan ilmu persepakbolaannya itu sendiri, manajemen dan organisasi globalnya, sampai soal puritanisme dan ketertutupan kita dari misalnya transfer pemain-pemain asing. Itu sebenarnya, tindakan antiglobalisasi.

   Juga faktor eksternalnya, anda tahu Liga Super Indonesia, pola persepakbolaan profesional industri, sudah lama berlangsung. Tetapi secara kualitatif, ia tidak mampu menunjukkan kelebihan kualitatifnya dibandingkan dengan jaman Galatama dan perserikatan dulu. Bukankah, dulu perserikatan sesungguhnya adalah puncak bentuk sepakbola paguyuban atau sepak bola kultural, yang sangat mengandalkan primordialisme kedaerahan? Bahkan kita mengalami bersama-sama landasan eksistensi klub-klub galatama (dulu), sekarang  LSI masih juga berkutat pada unsur emosi kultural. "Mobilisasi massa" yang dilakukan untuk mendukung klub LSI selama ini masih sangat mengandalkan faktor-faktor primordialisme yang sebenarnya  bukan merupakan ciri-ciri mekanisme industrial.


   Coba anda potret lebih close up : industrialisasi di Indonesia secara resmi digerakkan oleh kekuatan-kekuatan politik negara. Kepemimpinan kultural yang erdapat pada masyarakat tradisional digantikan oleh kepemimpnan institusional dan birokratis.

   Indikator lain, terdapat pada makin merambahnya gejala deswastanisasi atau dekulturalisasi mekanisme olah raga. Olah raga mungkin masih milik masyarakat, tetapi sudah sangat diurus oleh kepentingan ekonomi dan birokrasi. Sekarang mungkin anda tidak gampang lagi menyelenggarakan kompetisi sepakbola antar dusun : panitia anda harus anggota PSSI, harus minta ijin. Kultur sepak bola pada kehidupan rakyat makin tipis karena dua hal. Pertama, rakyat makin terserap oleh hiburan yang diproduk oleh 'pusat-pusat globalisasi'. Kedua, setiap aktivitas rakyat, juga sepak bola, didekati dengan security approach. Sepak bola kita,  dalam kehidupan rakyat umum, berjalan hanya sejauh memenuhi konsep tekno-birokratis.

        Dengan kata lain, sepak bola makin tidak lagi merupakan olah raga rakyat. Didesa-desa, anak-anak muda hampir sama sekali berhenti mempergaulkan sepak bola dengan desa-desa lain karena sejumlah kesulitan. Tidak bisa lagi dengan santai mengundang teman-teman dari desa lain untuk bertanding memperebutkan KAMBING CUP.


      Apalagi Jombang, daerah saya, dewasa ini tampaknya dianggap bukan lahan bibit sepak bola yang subur, melainkan tenis. Lapangan tenis dibangun di banyak tempat. Stadion sepak bola kabupaten pun kini dibagi dua sehinga fungsinya untuk sepak bola berkurang. "Memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat" untuk Jombang agaknya diaksentuasikan ke cabang tenis entah ada hubungannya dengan sukses Yayuk Basuki atau tidak. Kami di desa-desa sedang menunggu keputusan pak Bupati untuk mendirikan lapangan tenis di setiap desa. Tenis, untuk Jombang, sudah dan akan tidak merupakan olah raga mahal : semua rakyat bisa menikmatinya. Jadi, kalau untuk sepak bola,  kami dari Jombang mohon maaf tidak merintis infrastruktur teknokratis untuk menyumbangkan pemain-pemain nasional handal.

     Sebenarnya, di negara-negara industrial maju seperti Jerman dan Belanda pun sepak bola bukan lagi olah raga rakyat. Sepak bola adalah urusan sejumlah pekerja bola yang menjalankan urusan sepak bola dalam konteks profesional:  ia  sebuah perusahaan. Hanya saja bedanya, pengelolaan  sepak bola ilmiah dan profesionslisme mereka prima,sementara yang kita jalani masih tanggung. Baik pada tingkat lokal, regional, dan apalagi nasional sungguh kita memerlukan perundingan menyeluruh tentang"rasionalisasi dunia persepakbolaan". Kita butuh menerjemahkan konteks globalisasi, pengilmiahan, industrialiasi dan profesionalisme sepak bola. Kita sudah terlanjur meninggalkan fase "sepak bola kultural". Kalau tak kita capai fase "sepak bola industrial" secara ilmiah dan mendasar, mungkin keadaan kita akan tetap seperti orang "melepas ayam ditangan, tak tergapai burung di angkasa"

.©[EAN]

Urun rembug untuk tim-tim liga super indonesia yang akan memulai kompetisi tahun 2015.

SELAMAT BERTANDING TIM-TIM LIGA SUPER INDONESIA
BERMAINLAH SPORTIF, JAUHI MAFIA-MAFIA PENGATUR SKOR
KARENA HANYA DI SEPAK BOLA, semua orang bisa melupakan sumpeknya persoalan negeri ini..




Glory-glory Man. United.....
Hate... Persebaya abal-abal,

#Save_PERSEBAYA_1927
(HJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar