A
|
DA KESOMBONGAN
orang berkuasa. Ada kesombongan orang kaya. Ada kesombongan orang pandai. Juga ada
kesombongan orang saleh.

Kita awali dengan suatu identifikasi elementer. Semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa, maka yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Teruskan: rakyat adalah yang miskin, rakyat adalah yang bodoh dan rakyat adalah yang selalu belum saleh
.
Identifikasi yang lebih praksis: selalu rakyat adalah pihak yang diatur
oleh pihak yang berkuasa. Kenyataan ini punya peluang sangat besar untuk
bertentangan dengan asas hakiki demokrasi, serta sangat mencurigakan di pandang
dari rasionalitas dan proporsi managemen kenegaraan dan kebangsaan. Seorang
polisi bisa terjebak untuk menganggap dirinya adalah penggenggam hukum dan
rakyat adalah wilayah terapan hukum.
Kemudian konteks kesombongan orang kaya: dalam wacana pembangunan di hampir semua kalangan, selalu rakyat adalah pihak yang disebut harus dan sedang diberdayakan dari kelemahan ekonomi, dientaskan dari kemiskinan dan diselamatkan dari keterpurukan.
Pandangan ini sangat laknat, terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya
rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik
Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap
penguasa. Dan setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi
pahlawan yang akan melakukan perubahan dari kondisi miskin menuju tidak miskin.
Menurut parameter teknis stastistik perekonmoian dunia, rakyat
Indonesia memang rata-rata miskin namun kenyataannya rakyat adalah pengupaya
ekonomi yang luar biasa dibawah atmosfer kejahatan negaranya, sehingga
upaya-upaya berekonomi kerakyatan itulah yang berjasa mempertahankan negeri ini
dari kebangkrutan total.
Kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas
kesejahteraan rakyat, mentikusi administrasi keuangan negara milik rakyat,
mencuri dengan berjamaah dan dengan modus-modus yang makin lama tidak kasat
mata. Namun “ubet” ekonomi rakyat, “budaya kaki lima” yang cair dan longgar,
menciptkan semacam “pernapasan dalam” yang membuat rakyat terus survive meskipun hampir tak ada supplay udara dari negara.
Puluhan kali, bahkan mungkin ratusan atau ribuan kali para penjahat
penunggang negara melakukan penipuan, penilapan dan pencurian besar-besaran
atas harta rakyat yang diamanatkan manajemennya kepada negara. Namun ribuan
kali pula rakyat sukses mempertahankan diri mereka dari kebangkrutan total.
Meskipun demikian siapapun saja yang sedang
berpamrih ingin berkuasa dan ketika kemudian benar-benar berkuasa: selalu
dengan kemantapan dan keangkuhan yang luar biasa, menyatakan akan dan sedang menyelematkan rakyat dari
kebangkrutan.
.*******.
KEMUDIAN KONTEKS kesombongan orang pandai. Tak ada subyek yang lebih
nyata yang selalu diasosiasikan sebagai golongan penyandang kebodohan melebihi
rakyat. Rakyat adalah orang bodoh, karena setiap kali orang menjadi pandai, ia
menjumpai dirinya bukan rakyat lagi.
Hampir setiap orang yang diam-diam menggolongkan dirinya sebagai orang
pandai, merancang dirinya untuk melakukan pemandaian atas rakyat. Pejabat
memberi penerangan terhadap kegelapan dan kebodohan rakyat. Calon-calon sarjana
mengajari rakyat selama kuliah kerja nyata. Kaum intelektual menyebar
wacana-wacana untuk mendobrak kesempitan wawasan rakyat, duta-duta informasi
dan komunikasi menabur ilmu dan pengetahuan agar rakyat melek dunia.
Bahkan mahasiswa masuk kuliah hari pertama bisa terjebak oleh anggapan diam-diam di dalam dirinya bahwa
mulai hari itu ia melangkah meninggalkan kebodohan rakyat yang kemarin ia masih
menjadi bagian darinya. Kapan ada rejim tumbang, harusnya mahasiswa yang
direkognasi sebagi pelaku utamanya. Sebab agent
of change mustahil pelakunya adalah rakyat.
******.
Dan akhirnya yang paling khianat, yang paling menyakitkan hati, yang
mungkin Tuhan-pun tidak rela : adalah tradisi kesombongan orang saleh.
Rakyat di kasih pengajian tiap hari seakan-akan rakyatlah yang paling
jahat hatinya dan paling kotor hidupnya. Malam rakyat diulamai, pagi mereka
dipasturi, siang mereka di pendetai, sore mereka dibegawani. Rakyat dibimbing
agar beriman seakan-akan rakyat adalah siswa-siswi taman kanak-kanak. Rakyat
disantuni, diajari bagaimana menata kalbu. Padahal tak ada pakar penanggung
derita yang tingkat keahlian dan kemampuannya melebihi rakyat.
Kalau Al Qur’an menyebut “ berimanlah kepada Allah.” Yang dituju adalah
rakyat, bukan ustadz atau ulama. “ Wahai orang-orang kafir” –itu kemungkinan besar
rakyat, mustahil pak kyainya. “Dekatkanlah dirimu kepada orang saleh”- maksud
Tuhan tentu hendaknya rakyat mendekat-dekat pada ustadz, bukan ustadz
mendekat-dekat dan belajar kepada umat.
Bahkan dai, mubaligh,ustadz, dijunjung-junjung - namun dengan parameter
indusri dan ukuran feodalisme, untuk akhirnya ditertawakan dan ditinggalkan
oleh rakyat yang memiliki feeling dan jenis pengetahuan
sendiri tentang siapa ulama siapa
pencoleng, siapa ustadz siapa bakul
pasar.
Ada semacam feodalisme naluriah
dalam psikologi kita, mungkin karena tak pernah sembuh dari trauma penjajahan
fisik dan nilai yang tak pernah usai dalam kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan
kita. Kalau mendengar kata “rakyat”, tanpa sengaja langsung terdapat perasaan “look
down” dan menemukan yang bernama rakyat itu berada di dasar jurang dari
peta nilai yang kita kenal tentang kemanusiaan dan kebudayaan.
Saya menduga naluri feodalisme, kelas dan “kasta” itu tidak menjadi
kikis misalnya oleh pengalaman intelektualitas atau kesadaran demokrasi atau
egaliterianisme. Misalnya rakyat “yang paling rakyat” adalah pembantu rumah
tangga. Tidak sedikit contoh bagaimana seorang profesor doktor, pejabat tinggi
atau ulama –memperlakukan pembantu rumah, benar-benar sebagai “pembantu rumah
tangga” yang hampir berkonsep mirip perbudakan. Rumah tangga awam bisa terbukti
bersikap lebih egaliter, santai dan demokratis kepada pembantu rumah tangganya.
Salah satu latar belakangnya mungkin karena peningkatan pendidikan
masih tidak mandiri dari stratifikasi kelas budaya. Makin tinggi tingkat
pendidikan seseorang makin menumbuhkan perasaan lebih unggul dan lebih tinggi
derjatnya sebagai manusia. Dunia pendidikan tidak punya konsern mendasar
terhadap nilai kedewasaan sosial, kerendahana hati, kematangan jiwa atau
demokrasi kebudayaan.
.******.
#KYAI_BEJO_KYAI_UNTUNG_KYAI_HOKI
#EAN
(HJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar