Selasa, 03 Maret 2015

KIAI BEJO, KIAI UNTUNG, KIAI HOKI

KIAI BEJO… KIAI UNTUNG…. KIAI HOKI


A
DA KESOMBONGAN orang berkuasa. Ada kesombongan orang kaya. Ada kesombongan orang pandai. Juga ada kesombongan orang saleh.


Kita awali dengan suatu identifikasi elementer. Semua orang adalah rakyat, tapi kalau ada penguasa,  maka yang kita maksud dengan rakyat tentulah mereka yang dikuasai. Teruskan: rakyat adalah yang miskin, rakyat adalah yang bodoh dan rakyat adalah yang selalu belum saleh
.
Identifikasi yang lebih praksis: selalu rakyat adalah pihak yang diatur oleh pihak yang berkuasa. Kenyataan ini punya peluang sangat besar untuk bertentangan dengan asas hakiki demokrasi, serta sangat mencurigakan di pandang dari rasionalitas dan proporsi managemen kenegaraan dan kebangsaan. Seorang polisi bisa terjebak untuk menganggap dirinya adalah penggenggam hukum dan rakyat adalah wilayah terapan hukum.


Kemudian konteks kesombongan orang kaya: dalam wacana pembangunan di hampir semua kalangan, selalu rakyat adalah pihak yang disebut harus dan sedang diberdayakan dari kelemahan ekonomi, dientaskan dari kemiskinan dan diselamatkan dari keterpurukan.

Pandangan ini sangat laknat, terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya rakyat adalah pemilik kekayaan sangat melimpah dari tanah rahmat Tuhan Republik Indonesia, namun kekayaan rakyat itu dijadikan langganan perampokan oleh setiap penguasa. Dan setiap penguasa itu selalu tidak tahu diri berlagak menjadi pahlawan yang akan melakukan perubahan dari kondisi miskin menuju tidak miskin.

Menurut parameter teknis stastistik perekonmoian dunia, rakyat Indonesia memang rata-rata miskin namun kenyataannya rakyat adalah pengupaya ekonomi yang luar biasa dibawah atmosfer kejahatan negaranya, sehingga upaya-upaya berekonomi kerakyatan itulah yang berjasa mempertahankan negeri ini dari kebangkrutan total.

Kegiatan utama kebanyakan pejabat adalah mengacaukan stabilitas kesejahteraan rakyat, mentikusi administrasi keuangan negara milik rakyat, mencuri dengan berjamaah dan dengan modus-modus yang makin lama tidak kasat mata. Namun “ubet” ekonomi rakyat, “budaya kaki lima” yang cair dan longgar, menciptkan semacam “pernapasan dalam” yang membuat rakyat terus survive meskipun hampir tak ada supplay udara dari negara.

Puluhan kali, bahkan mungkin ratusan atau ribuan kali para penjahat penunggang negara melakukan penipuan, penilapan dan pencurian besar-besaran atas harta rakyat yang diamanatkan manajemennya kepada negara. Namun ribuan kali pula rakyat sukses mempertahankan diri mereka dari kebangkrutan total.

Meskipun demikian siapapun saja yang sedang berpamrih ingin berkuasa dan ketika kemudian benar-benar berkuasa: selalu dengan kemantapan dan keangkuhan yang luar biasa, menyatakan  akan dan sedang menyelematkan rakyat dari kebangkrutan.

.*******.

KEMUDIAN KONTEKS kesombongan orang pandai. Tak ada subyek yang lebih nyata yang selalu diasosiasikan sebagai golongan penyandang kebodohan melebihi rakyat. Rakyat adalah orang bodoh, karena setiap kali orang menjadi pandai, ia menjumpai dirinya bukan rakyat lagi.

Hampir setiap orang yang diam-diam menggolongkan dirinya sebagai orang pandai, merancang dirinya untuk melakukan pemandaian atas rakyat. Pejabat memberi penerangan terhadap kegelapan dan kebodohan rakyat. Calon-calon sarjana mengajari rakyat selama kuliah kerja nyata. Kaum intelektual menyebar wacana-wacana untuk mendobrak kesempitan wawasan rakyat, duta-duta informasi dan komunikasi menabur ilmu dan pengetahuan agar rakyat melek dunia.

Bahkan mahasiswa masuk kuliah hari pertama bisa terjebak oleh  anggapan diam-diam di dalam dirinya bahwa mulai hari itu ia melangkah meninggalkan kebodohan rakyat yang kemarin ia masih menjadi bagian darinya. Kapan ada rejim tumbang, harusnya mahasiswa yang direkognasi sebagi pelaku utamanya. Sebab agent of change mustahil pelakunya adalah rakyat.

******.

Dan akhirnya yang paling khianat, yang paling menyakitkan hati, yang mungkin Tuhan-pun tidak rela : adalah tradisi kesombongan orang saleh.

Rakyat di kasih pengajian tiap hari seakan-akan rakyatlah yang paling jahat hatinya dan paling kotor hidupnya. Malam rakyat diulamai, pagi mereka dipasturi, siang mereka di pendetai, sore mereka dibegawani. Rakyat dibimbing agar beriman seakan-akan rakyat adalah siswa-siswi taman kanak-kanak. Rakyat disantuni, diajari bagaimana menata kalbu. Padahal tak ada pakar penanggung derita yang tingkat keahlian dan kemampuannya melebihi rakyat.

Kalau Al Qur’an menyebut “ berimanlah kepada Allah.” Yang dituju adalah rakyat, bukan ustadz atau ulama. “ Wahai orang-orang kafir” –itu kemungkinan besar rakyat, mustahil pak kyainya. “Dekatkanlah dirimu kepada orang saleh”- maksud Tuhan tentu hendaknya rakyat mendekat-dekat pada ustadz, bukan ustadz mendekat-dekat dan belajar kepada umat.

Bahkan dai, mubaligh,ustadz, dijunjung-junjung - namun dengan parameter indusri dan ukuran feodalisme, untuk akhirnya ditertawakan dan ditinggalkan oleh rakyat yang memiliki feeling dan jenis pengetahuan sendiri tentang siapa ulama  siapa pencoleng, siapa ustadz  siapa bakul pasar.

Ada semacam feodalisme  naluriah dalam psikologi kita, mungkin karena tak pernah sembuh dari trauma penjajahan fisik dan nilai yang tak pernah usai  dalam kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan kita. Kalau mendengar kata “rakyat”, tanpa sengaja langsung terdapat perasaan look down” dan menemukan yang bernama rakyat itu berada di dasar jurang dari peta nilai yang kita kenal tentang kemanusiaan dan kebudayaan.

Saya menduga naluri feodalisme, kelas dan “kasta” itu tidak menjadi kikis misalnya oleh pengalaman intelektualitas atau kesadaran demokrasi atau egaliterianisme. Misalnya rakyat “yang paling rakyat” adalah pembantu rumah tangga. Tidak sedikit contoh bagaimana seorang profesor doktor, pejabat tinggi atau ulama –memperlakukan pembantu rumah, benar-benar sebagai “pembantu rumah tangga” yang hampir berkonsep mirip perbudakan. Rumah tangga awam bisa terbukti bersikap lebih egaliter, santai dan demokratis kepada pembantu rumah tangganya.

Salah satu latar belakangnya mungkin karena peningkatan pendidikan masih tidak mandiri dari stratifikasi kelas budaya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin menumbuhkan perasaan lebih unggul dan lebih tinggi derjatnya sebagai manusia. Dunia pendidikan tidak punya konsern mendasar terhadap nilai kedewasaan sosial, kerendahana hati, kematangan jiwa atau demokrasi kebudayaan.

.******.

#KYAI_BEJO_KYAI_UNTUNG_KYAI_HOKI
#EAN
(HJ)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar