Rabu, 18 Maret 2015

POJOK CAK NUN : TITIK NADIR DEMOKRASI (2)


J
adi inilah hari-hari dimana manusia ter-bumerangi oleh bangunan dan sistem-sistem kekuasaan yang ia ciptakan sendiri. Jikapun seseorang atau sekelompok orang mendiami dan menggenggam pusat kekuasaan, itu sama sekali tidak menjamin bahwa ia atau mereka berkuasa atas sistem yang mereka rekayasa sendiri tersebut. Inilah yang Allah sendiri selalu memperingatkan : manusia menganiaya dirinya sendiri.

      

     Atau bahkan antara "yang berkuasa" dengan "yang dikuasai" bisa terdapat pada sekaligus wilayah 'kaum penindas' maupun daerah 'kaum tertindas'. Lebih dari itu, peta keterkuasaan dan ketertindasan sudah tidak hanya beralamatkan pada geopolitik atau geoekonomi melainkan juga lebih intrinsik,  geopsikologi. Didalam ruang kemanusiaan setiap orang terdapat potensi negara, potensi militer, potensi keberkuasaan, sekaligus potensi rakyat kecil, potensi sipil, potensi ketertindasan. Sebaliknya didalam kosmos negara,  kemanusiaan yang tertekan tidak hanya kemanusiaannya wong cilik, tapi juga mungkin kemanusiaannya seorang jenderal, seorang bupati,  dan lain sebagainya.

        Inilah hari-hari kesunyian manusia dalam negara. Manusia terasing didalam rumah sejarahnya sendiri. Manusia menciptakan penjara-penjara politik yang pengap, penjara-penjara ekonomi yang menyesakkan dan mencambuki punggung, serta penjara-penjara kebudayaan yang wajahnya gemerlap namun membuat lubuk nuraninya lenyap ke ruang-ruang hampa. Manusia menciptakan penjara-penjara sampai akhirnya rekayasa-rekayasa untuk mempertahankan eksistensi penjara-penjara  itu menjelma menjadi penjara tersendiri yang lebih dahsyat kungkungannya.

    Sebagian manusia mengasingkan saudara-saudara sampai mereka sendiri terasing dan kesepian,  serta tidak kunjung bisa menjamin bahwa jika ia melepaskan diri dari kesepian itu keadaan akan lebih baik bagi diri mereka. Manusia terasing dari produk-produk peradabannya sendiri, karena didalam bangunan itu kemanusiaan tidak dinomorsatukan, juga kemanusiaan yang terkandung didalam diri para penguasa itu sendiri. Roda politik menggerakan kereta sejarah ke cakrawala yang sesungguhnya tidak dikenal oleh gagasan dan filosofi awal tatkala ilmu politik di lahirkan. Roda ekonomi dan teknologi menggulirkan zaman ke benua-benua pradaban yang setiap ujungnya membuat rohani manusia-manusia pelakunya kecele.

   Sementara kebudayaan hanya sanggup menyediakan panggung-panggung joget bagi perasaan-perasaan picisan, bagi nafsu-nafsu permukaan yang tidak pernah mempertanyakan dirinya, serta bagi upaya-upaya katarsis kecil-kecilan dan temporal atau kamuflase dan eskapisme yang penuh berisi omong kosong yang dibangga-banggakan. Kebudayaan kontemporer memasang gedung-gedung, pangung-panggung dan layar-layar pertunjukan serta aroma ajojing yang watak dan temanya satu belaka,  yakni proses pendangkalan kemanusiaan.

    Inilah hari-hari dimana titik nadir "demokrasi" telah dicapai dengan amat "sukses", sehingga budaya otoritarianisme semakin tidak bisa dikontrol, tidak saja oleh lembaga-lembaga kebenaran dan moral, tapi juga bahkan tidak terkontrol oleh diri para penguasa itu sendiri. Inilah hari-hari dimana terdapat kerja sama sejarah otomatik antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang tidak berkuasa untuk -sampai batas tertentu- bersama-sama mentradisikan kepatuhan terhadap sistem kedholiman yang diciptakan oleh semua pihak secara dialektis.

   Inilah hari-hari dimana kita bisa dengan gamblang menyaksikan terputus dan terbuntunya tugas kebenaran dunia ilmu dan kaum intelektual dari realitas ke kekuasaan negara. Sehingga kenyataan-kenyataan runtuhnya akal sehat politik dan kebudayaan bukan saja tidak bisa diantisipasi,  melainkan malah terkadang malah di-kukuh-kan oleh lembaga-lembaga ilmu. Karena para pekerja kebenaran ilmu, para pengembara pengetahuan beserta institusinya, sudah terlalu lama tidak berkeberatan untuk bertempat tinggal di propinsi sejarah yang tidak memiliki otonomi nilai dan independensi politik. 


    Inilah hari-hari dimana agama semakin terasing dari pemeluknya. Dimana agama tidak disikapi rendah hati oleh para pelakunya, melainkan dijadikan alat untuk tidak dewasa dan pemarah. Dimana agama tidak dijadikan samudera ilmu, melainkan dijadikan jimat-jimat beku yang disimpan, dielus-elus, namun tidak diperkenalkan kepada hakikat realita dan tidak diterjemahkan kedalam syariat sosial sebagai mana agama itu sendiri menuntutnya. Dimana agama tidak dijadikan sumur kearifan dan kolam kedamaian, melainkan dipandei menjadi pisau tajam untuk mengiris-iris hati dan harga diri sebagai hamba Allah.

     Inilah hari-hari dimana agama tidak digali akurasi moral dan power (akhlâq dan sulthân) -nya demi mengontrol dan membimbing perilaku kekuasaan, sehingga nilai-nilai agama justru banyak tersisakan sisi simboliknya belaka yang dipresentasikan justru pada fungsi legalitas legitimasinya tehadap perilaku kekuasaan belaka.

       Inilah hari-hari semakin tidak berdayanya kaum seniman dan pekerja kebudayaan terhadap proses dekulturisasi budaya kekuasaan,  sehingga mereka sendiri mengalami stress kekaburan diri, degradasi integritas sosial serta hanya terpaku pada khayal-khayal subyektif. Inilah hari-hari dimana kantong-kantong kreativitas dan kemerdekaan mencipta tidak memiliki geografi kongkret, dan hanya terdapa tkandungan hati dan mentalitas masing-masing seniman dan pekerja kebudayaan.

        Inilah hari-hari dimana dua sayap tugas kaum seniman dan pekerja kebudayaan tiba padam titik mutu terrendahnya. Pertama tugas kreativitas kesenian yang semakin tidak mengenali seberapa luas cakrawalanya, seberapa tingkat eksplorasi tematik dan fungsi sosial yang semestinya bisa dijangkau. Kedua tugas para seniman sebagai warga suatu sistem negara, untuk mengamankan propinsi kreativitasnya serta wilayah kemerdekaan seluruh rakyat yang menjadi Ibu kebudayaannya – melalui jaringan perjuangan-perjuangan hukum dan politik- dan bukan hanya melalui himbauan serta tradisi mengemis kemerdekaan.




      Inilah hari-hari semakin tidak jernihnya mata pandang lembaga-lembaga informasi dan komunikasi. Para kuli tinta tidak sempat merenung dan harus berlari cepatdalam keasyikan budaya oplah yang tidak cukup sempat mengontrol diri dengan (karena semakin tipisnya) tradisi kejernihan ilmiah, serta oleh skala prioritas moral dalam politik keredaksiannya. Para jurnalis tidak punya waktu, stamina mental dan kelapangan jiwa untuk selalu mempersegar kembali standart-standart persepsinya terhadap realitas hidup, terhadap ukuran-ukuran kualitas makhluk manusia, terhadap skala moral dan kebenaran nilai-nilai.

    Inilah hari-hari dimana jaringan para pelaku budaya tanding, dimana network kekuatan-kekuatan oposisional dalam sejarah, dimana segmen-segmen gerakan demoralisasi tidak kunjung sanggup menyembuhkan penyakit atau mengurangi kelemahan di dalam diri mereka sendiri. Dimana bukan saja tak kunjung tercapai jaringan kerja sama yang kondusif dan komplementer simbiose mutualistik untuk memproses perbaikan-perbaikan sejarah, melainkan terkadang malah melahirkan langkah-langkah yang counter productive. Dimana sikap prioritas perjuangan tak kunjung disepakati, dimana psikologisme dan egoisme antar kelompok tak kunjung bisa disirnakan, serta dimana langkah-langkah strategis dan taktis tak kunjung dititik-temukan. Dimana "pasukan" demokratisasi masih banyak dipenuhi oleh ideologicalinter prejudice, oleh lack of frust serta oleh terpurukya jaringan pada masalah-masalah –yangs esungguhnya- tidak prinsipal.

  Inilah hari-hari dimana Allah menganugerahimu  kesunyian. Dimana Allah mengujimu dengan hal-hal yang -karena belum tersentuh sungguh-sungguh oleh tangan kejuanganmu-terasa sebagai duka dan kepiluan. Inilah hari-hari dimana kegelapan mengepung demi memberimu ilham tentang cahaya. Dimana keedanan memuncak untuk menawar-nawarkan kepada kewarasan. Dimana kebuntuan-kebuntuan menabrakmu dan mengundangmu untuk menjebolnya. (end)




[©EAN]






"Semoga kita semakin paham makna demokrasi, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari". (HJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar