Senin, 02 Maret 2015

SUDRUN GUGAT #2


BAJU ITU TANGGAL DI HADAPAN TUHAN

         ITULAH yang paling menyakitkan yang pernah ku alami. Tapi, akhirnya aku tahu bahwa ada perbedaan besar antara rasa sakit dengan penyakit. Penyakit itu destruksi terhadap hakekat hidup. Tapi, sakit justru sanggup membawamu memasuki sebuah situasi sakral yang misterius. Aku yakin engkaupun tahu bahwa ternyata rasa sakit dan kepedihan sesungguhnya adalah kebahagian yang tidak menjumpai tempat persemayamannya di dalam jiwamu.

              Sudrun menghardiku sepanjang malam, sebelum akhirnya ia mendadak lenyap entah kemana tatkala fajar berakhir. Kehadirannya kemudian digantikan oleh cahaya matahari yang pagi itu lain sama sekali dengan cahaya yang pernah kukenali sebelumnya ketika kutatap dengan mataku dan kuhayati dengan batinku. Aku merasa bukan aku. Aku merasa lahir kembali sebagai aku yang sama sekali bukan yang kemarin.

        Aku pernah menjadi seorang bupati dan aku menyangka bahwa aku adalah bupati, sehingga ketika aku tidak lagi menjabat bupati, aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku pernah menjadi seorang menteri, disaat lain aku menjadi seorang jendral dengan jabatan dan kewenangan besar. Aku juga pernah menjadi seorang bos besar di sebuah perusahaan, kemudian menjadi pemimpin panutan beribu-ribu orang yang setiap saat ketemu setia mencium punggung tanganku.

        Ketika kemudian aku berangkat tua, aku mulai tak bisa mengelak untuk mengerti bahwa sesungguhnya aku bukan bos besar. Bukan penguasa, dan bukan pemimpin. Dan akhirnya, tatkala orang-orang mengangkat kerandaku dan memasukan ke lubang kuburan yang begitu amat sempit dibandingkan yang pernah ku bayangkan tentang kebesaran hidupku, aku sungguh-sungguh memahami bahwa yang dikuburkan ini bukanlah menteri, bukan bos besar, dan bukan pemimpin masyarakat. Yang meringkuk di kuburan dan tak bisa mengelak dari tangan Munkar dan Nakir ini adalah diri yang sama sekali lain, yang selama hidupku justru jarang kusapa dan kuperhatikan.

       Pada saat itulah tumbuh kecerahan pikiran dan sekaligus penyesalan. Betapa si bupati, si menteri, si bos besar dan si pemimpin umat, seharusnya sudah sejak awal kukuburkan sendiri, dan semestinya aku melawan habis-habisan apabila beribu-ribu orang itu mencoba menggali, menghidupkan, mengangkat diatas kepala mereka sendiri sambil menyanjung-nyanjung sesuatu yang telah kukuburkan itu.

          Aku bukan bupati, karena yang disebut bupati itu hanyalah bajuku. Aku bukan menteri, sebab yang bernama menteri itu hanyalah nama dari tugasku. Aku bukan bos, bukan pemimpin, bukan kiai, bukan ulama, bukan budayawan dan bukan apa saja, karena itu sekedar inisial untuk menandai pekerjaan hidup sosialku.

        Baju itu tanggal di hadapan Allah. Dan tanggalnya bajuku tak usah menunggu mautku. Tak usah menunggu hari tua rentaku. Tak usah menunggu habisnya masa tugasku. Tak usah menunggu orang lain mencopotnya secara paksa dariku. Dihadapan keagungan Allah, baju telah tanggal sekarang, sekarang juga bahkan sudah tanggal sejak sebelum ia kukenakan di badanku.

          Dihadapan Allah, baju itu tanggal. Jadi dimanakah ada tempat dimana baju itu tidak tanggal? Dimanakah aku hidup?, bertempat tinggal? Bekerja? Bersujud? Dan bernyanyi-nyanyi selain dihadapan Allah? Adakah tempat untuk mengungsi dari hadapan-Nya selain di wilayah-NYa juga? Adakah alam, kosmos, arasy, galaksi, ruang dan waktu dimana kau bisa terhindar dari penglihatan-Nya??

          Jadi di hadapan-Nya aku hanya sanggup telanjang
.
       Aku tidak bisa hidup kecuali di hadapanMU, ya Allah. Kalau aku berdiri di podium. Engkaulah itu yang menatapku. Kalau mulutku memekik-mekik dan tanganku ku acung-acungkan di hadapan beribu orang di lapangan  atau stadion, Engkaulah hadirinku yang nomor satu. Wajahku menatap ribuan orang itu, tapi jiwa ku tidak menghadap mereka jiwaku bukanlah yang sedang mereka tonton dan kagumi, karena hanya Engkaulah satu-satunya yang berhak atas segala puji, segala kekaguman, rasa cinta dan syukur.

           Kami semua, berjuta-juta, bersama alam, matahari, cahaya dan segala yang tersembunyi dibaliknya, menatap ke satu arah yang sama, yakni Engkau. Aku tidak akan membiarkan diriku menjadi pusat perhatian mereka yang berjuta-juta itu, Ya Rabbi. Karena aku tak kuasa menjadi pusat perhatian. Aku tidak akan membiarkan orang berjuta-juta itu melihat ke arahku, mengonsentrasikan jiwanya padaku,  ya Rabbi,  karena aku akan terbakar luluh sirna jika berani-berani mengambil alih sesuatu yang menjadi hak-Mu.

          Aku akan berlari dari setiap arus massa yang mengidolakanku, yang memberhalakanku, yang memenjarakanku dalam sangkar takhayul mereka. Aku akan memberontak dari setiap energi sosial yang menyandera hakikatku untuk dijadikan patung sesuai dengan konsep budaya dan penyakit jiwa mereka. Kalau mereka memaksaku, aku akan menghilang. Kalau mereka mendesakku, aku akan terbang. Kalau mereka memojokkanku, aku akan tiba-tiba berada di balik punggung mereka. Kalau mereka men-cengkiwing leherku dan mencengkeram tengkuku untuk mereka jadikan sesuatu yang berdasarkan klenik kesengsaraan mereka, maka aku akan berlaku gila sampai mereka membenciku.

         Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang bodoh ini. Ampunilah saat-saat ketika aku tidak sanggup melihat apa-apa kecuali yang kusangka kebesaranku. Ampunilah tahun-tahun tatkala aku menikmati posisi-Mu: di puja-puja, dijadikan bahan histeria sejarah, sehingga seolah-olah jiwaku bergumam sendiri “ Laa Ilaha illa Anna…….”

     Ampunilah hari-hari kedunguanku dimana yang kunomorsatukan adalah namaku, popularitasku, posisi sejarahku di jenjang kursi yang amat inggi yang disangga oleh pundak jutaan orang. Ampunilah kelalaianku yang nikmat membiarkan berjuta-juta orang menyangka bahwa  aku ini besar dan sungguh-sungguh memiliki kebesaran.  Allahu Akbar! Walastu…….

       Tetapi, kutuklah dan persiapkan api neraka bagi kejahatanku tatkala aku memperniagakan kebesaran yang kusangka milikku. Tatkala aku mengapitalisasikan, memperdagangkan dan mengeksploitasi amanat-MU itu untuk memperoleh kemewahan hidup kedunianku.

   Ya Allah, Dzat satu-satunya yang benar-benar ada, betapa terlambatnya aku mengakui bahwa pada hakekatnya aku ini tiada. Bahwa segala yang seolah-olah kumiliki ini adalah milik-Mu. Bahwa kehidupan, alam semesta, kemanusiaan dan yang kusebut diriku sendiri ini, sesungguhnya tiada. Engka meng-ada-kannya. Namun ada-ku palsu. Engkau sajalah yang sejati ada.

Akhirnya kopi susu sudah tersedia.
Monggo disruput kopi suzunya....



#Sudrun Gugat

(HJ)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar