BAJU ITU TANGGAL DI HADAPAN TUHAN
ITULAH
yang paling menyakitkan yang pernah ku alami. Tapi, akhirnya aku tahu bahwa ada
perbedaan besar antara rasa sakit dengan penyakit. Penyakit itu destruksi
terhadap hakekat hidup. Tapi, sakit justru sanggup membawamu memasuki sebuah situasi
sakral yang misterius. Aku yakin engkaupun tahu bahwa ternyata rasa sakit dan
kepedihan sesungguhnya adalah kebahagian yang tidak menjumpai tempat
persemayamannya di dalam jiwamu.
Sudrun
menghardiku sepanjang malam, sebelum akhirnya ia mendadak lenyap entah kemana
tatkala fajar berakhir. Kehadirannya kemudian digantikan oleh cahaya matahari
yang pagi itu lain sama sekali dengan cahaya yang pernah kukenali sebelumnya
ketika kutatap dengan mataku dan kuhayati dengan batinku. Aku merasa bukan aku.
Aku merasa lahir kembali sebagai aku yang sama sekali bukan yang kemarin.
Aku
pernah menjadi seorang bupati dan aku menyangka bahwa aku adalah bupati,
sehingga ketika aku tidak lagi menjabat bupati, aku merasa kehilangan diriku
sendiri. Aku pernah menjadi seorang menteri, disaat lain aku menjadi seorang
jendral dengan jabatan dan kewenangan besar. Aku juga pernah menjadi seorang
bos besar di sebuah perusahaan, kemudian menjadi pemimpin panutan beribu-ribu
orang yang setiap saat ketemu setia mencium punggung tanganku.
Ketika
kemudian aku berangkat tua, aku mulai tak bisa mengelak untuk mengerti bahwa
sesungguhnya aku bukan bos besar. Bukan penguasa, dan bukan pemimpin. Dan
akhirnya, tatkala orang-orang mengangkat kerandaku dan memasukan ke lubang
kuburan yang begitu amat sempit dibandingkan yang pernah ku bayangkan tentang
kebesaran hidupku, aku sungguh-sungguh memahami bahwa yang dikuburkan ini
bukanlah menteri, bukan bos besar, dan bukan pemimpin masyarakat. Yang meringkuk
di kuburan dan tak bisa mengelak dari tangan Munkar dan Nakir ini adalah diri
yang sama sekali lain, yang selama hidupku justru jarang kusapa dan
kuperhatikan.
Pada
saat itulah tumbuh kecerahan pikiran dan sekaligus penyesalan. Betapa si
bupati, si menteri, si bos besar dan si pemimpin umat, seharusnya sudah sejak
awal kukuburkan sendiri, dan semestinya aku melawan habis-habisan apabila
beribu-ribu orang itu mencoba menggali, menghidupkan, mengangkat diatas kepala
mereka sendiri sambil menyanjung-nyanjung sesuatu yang telah kukuburkan itu.
Aku
bukan bupati, karena yang disebut bupati itu hanyalah bajuku. Aku bukan
menteri, sebab yang bernama menteri itu hanyalah nama dari tugasku. Aku bukan
bos, bukan pemimpin, bukan kiai, bukan ulama, bukan budayawan dan bukan apa
saja, karena itu sekedar inisial untuk menandai pekerjaan hidup sosialku.
Baju
itu tanggal di hadapan Allah. Dan tanggalnya bajuku tak usah menunggu mautku.
Tak usah menunggu hari tua rentaku. Tak usah menunggu habisnya masa tugasku.
Tak usah menunggu orang lain mencopotnya secara paksa dariku. Dihadapan
keagungan Allah, baju telah tanggal sekarang, sekarang juga bahkan sudah
tanggal sejak sebelum ia kukenakan di badanku.
Dihadapan
Allah, baju itu tanggal. Jadi dimanakah ada tempat dimana baju itu tidak
tanggal? Dimanakah aku hidup?, bertempat tinggal? Bekerja? Bersujud? Dan
bernyanyi-nyanyi selain dihadapan Allah? Adakah tempat untuk mengungsi dari
hadapan-Nya selain di wilayah-NYa juga? Adakah alam, kosmos, arasy, galaksi,
ruang dan waktu dimana kau bisa terhindar dari penglihatan-Nya??
Jadi
di hadapan-Nya aku hanya sanggup telanjang
.
Aku
tidak bisa hidup kecuali di hadapanMU, ya Allah. Kalau aku berdiri di podium.
Engkaulah itu yang menatapku. Kalau mulutku memekik-mekik dan tanganku ku acung-acungkan
di hadapan beribu orang di lapangan atau
stadion, Engkaulah hadirinku yang nomor satu. Wajahku menatap ribuan orang itu,
tapi jiwa ku tidak menghadap mereka jiwaku bukanlah yang sedang mereka tonton
dan kagumi, karena hanya Engkaulah satu-satunya yang berhak atas segala
puji, segala kekaguman, rasa cinta dan syukur.
Kami
semua, berjuta-juta, bersama alam, matahari, cahaya dan segala yang tersembunyi
dibaliknya, menatap ke satu arah yang sama, yakni Engkau. Aku tidak akan
membiarkan diriku menjadi pusat perhatian mereka yang berjuta-juta itu, Ya Rabbi. Karena aku tak kuasa menjadi
pusat perhatian. Aku tidak akan membiarkan orang berjuta-juta itu melihat ke
arahku, mengonsentrasikan jiwanya padaku, ya Rabbi, karena aku akan terbakar luluh sirna jika
berani-berani mengambil alih sesuatu yang menjadi hak-Mu.
Aku
akan berlari dari setiap arus massa yang mengidolakanku, yang memberhalakanku,
yang memenjarakanku dalam sangkar takhayul mereka. Aku akan memberontak dari
setiap energi sosial yang menyandera hakikatku untuk dijadikan patung sesuai
dengan konsep budaya dan penyakit jiwa mereka. Kalau mereka memaksaku, aku akan
menghilang. Kalau mereka mendesakku, aku akan terbang. Kalau mereka
memojokkanku, aku akan tiba-tiba berada di balik punggung mereka. Kalau mereka
men-cengkiwing leherku dan mencengkeram tengkuku untuk mereka jadikan sesuatu
yang berdasarkan klenik kesengsaraan mereka, maka aku akan berlaku gila sampai
mereka membenciku.
Ya
Allah, ampunilah hamba-Mu yang bodoh ini. Ampunilah saat-saat ketika aku tidak
sanggup melihat apa-apa kecuali yang kusangka kebesaranku. Ampunilah
tahun-tahun tatkala aku menikmati posisi-Mu: di puja-puja, dijadikan bahan
histeria sejarah, sehingga seolah-olah jiwaku bergumam sendiri “ Laa Ilaha illa Anna…….”
Ampunilah
hari-hari kedunguanku dimana yang kunomorsatukan adalah namaku, popularitasku,
posisi sejarahku di jenjang kursi yang amat inggi yang disangga oleh pundak
jutaan orang. Ampunilah kelalaianku yang nikmat membiarkan berjuta-juta orang
menyangka bahwa aku ini besar dan
sungguh-sungguh memiliki kebesaran. Allahu Akbar! Walastu…….
Tetapi,
kutuklah dan persiapkan api neraka bagi kejahatanku tatkala aku memperniagakan
kebesaran yang kusangka milikku. Tatkala aku mengapitalisasikan,
memperdagangkan dan mengeksploitasi amanat-MU itu untuk memperoleh kemewahan
hidup kedunianku.
Ya
Allah, Dzat satu-satunya yang benar-benar ada, betapa terlambatnya aku mengakui
bahwa pada hakekatnya aku ini tiada. Bahwa segala yang seolah-olah kumiliki ini
adalah milik-Mu. Bahwa kehidupan, alam semesta, kemanusiaan dan yang kusebut
diriku sendiri ini, sesungguhnya tiada. Engka meng-ada-kannya. Namun ada-ku
palsu. Engkau sajalah yang sejati ada.
Akhirnya kopi susu sudah tersedia.
Monggo disruput kopi suzunya....
#Sudrun Gugat
(HJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar