R
|
AKYAT YANG diperhinakan oleh gaya
kepemimpinan yang memakai merah darah mereka sebagai gincu. Rakyat yang
dibodohi sehingga akhirnya tidak lagi mengenal kebodohan. Rakyat yang terus
menerus dan terlalu lama dihina sehingga akhirnya benar-benar menjadi hina
tanpa tersisa sedikitpun kesadaran dan pengetahuan bahwa mereka hina.
Jangankan
membedakan mana kehinaan, mana kemuliaan didalam kompleksitas kehidupan
berbangsa, sedangkan sekedar bermain sepak bola saja kalau kalah tak tahu kenapa
kalah dan kalau menang, malah salah menemukan sebabnya kenapa kok bisa menang.
Visi, wawasan,
ilmu, identifikasi dan pemetaan nilai-nilai dan realitas, telah menjadi suatu
jenis seni rupa impressionis instans. Kehidupan intelektual yang menjadi muatan
utama komunikasi dan informasi sudah mengalami pecahan-pecahan, pengepingan-pengepingan,
syndrome of disconnected awareness.
Bahkan dalam mengomentari pertandingan tinju, dalam satu ronde kita mengalami
pergantian parameter sampai 4-5 kali, saking tidak mendasar dan tidak
menentunya prinsip ilmu pertinjuan kita.
Bangsa yang
sekaligus mengalami ketersesatan intelektual, politik, kultural, spiritual,
bahkan ketersesatan teknis untuk soal-soal yang sangat sederhana. Mencari Tuhan,
yang didatangi dukun. Mencari ulama, yang dikejar pedagang. Mencari orang
pandai, yang di tunggu pelawak. Mencari soto enak, pergi ke tukang tambal ban.
Mencari pemimpin, yang dijunjung bintang film. Mencari bintang, yang diburu
meteor. Mencari tokoh, yang disongsong perampok. Plastik diwarnai keemasan,
emas dijadikan ganjal almari. Nasi diperlakukan sebagai krupuk, terasi
didewakan sebagai makanan utama.
Bangsa yang kehilangan
parameter hampir disegala bidang. Bangsa yang memilih langsung presidennya
namun tanpa melewati pijakan subtansi demokrasi. Bangsa yang ditenggelamkan
oleh air bah informasi tiap hari namun semakin tidak mengerti apa yang
seharusnya mereka mengerti. Bangsa yang sudah kehilangan ukuran apakah mereka
maju atau mundur, apakah mereka sedang dihina ataukah dimuliakan, apakah mereka
pandai atau bodoh. Apakah mereka menang atau kalah. Bangsa yang peta
identifikasi dirinya makin terhapus, sebagai manusia, sebagai rakyat atau
bangsa.
Bangsa yang -sesekali
- menjalankan hukum, namun tanpa kesadaran dan hikmah hukum, tanpa kesanggupan untuk
mengapresiasi nikmatnya berkebudayaan hukum. Bangsa yang sangat tampak secara wadag
sedang menjalankan ajaran agama, namun hampir tidak terdapat pada perilakunya dialektika
berpikir agama, tidak ada kausalitas mendasar antara input dan output nilai
agama. Bahkan terdapat diskoneksi ekstrem antara praksis kehidupan beragama
dengan hakikat Tuhan.
.******.
Yang paling
beruntung dalam kehidupan sepanjang sejarah manusia adalah pemerintah
Indonesia. Karena semakin hari rakyatnya semakin tidak paham apakah
pemerintahnya berhasil atau gagal. Semakin tidak memiliki kepekaan dan sasmita
apakah mereka dicintai atau tidak oleh pemerintahnya. Semakin kehilangan ukuran apakah dari pemerintahnya mereka sedang memperoleh kesetiaan dan semangat
pengabdian, ataukah pengkhianatan dan proses-proses penghancuran.
Sungguh siapa
saja yang duduk dalam struktur pemerintahan negeri ini adalah “kiai Bejo”, “kiai
Untung” atau “Kiai Hoki”. Orang yang mendapatkan keuntungan meskipun tanpa
bekerja. Salah satu pameo membuat rumus: orang
bodoh kalah oleh orang pandai, orang pandai kalah oleh orang berkuasa, orang
berkuasa kalah oleh orang kaya, orang kaya kalah oleh orang bejo.
Setiap
pemerintah Indonesia tidak terlibat dalam konstelasi pameo itu, sebab mereka
sekaligus pandai, berkuasa, kaya dan “bejo”.
.********.
Mungkin ini yang dimaksud Cak Nun... PRESIDEN BEJO ITU....
TERIMALAH INDONESIA.....MR. PRESIDEN PILIHAN KITA...
#KYAI_BEJO_KYAI_UNTUNG_KYAI_HOKI
#EAN
(HJ)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar