Rabu, 11 Maret 2015

POJOK CAK NUN : Sepak Bola Kultural

                
S
EPAK BOLA SEBAGAI OLAH RAGA utama rakyat Indonesia, tergolong komponen garda depan pembangunan yang mestinya merupakan pelopor globalisasi. Saya tidak main-main. Sepak bola melihat uang milyaran rupiah, jutaan konsumen, fasilitas teknologi tinggi, halaman-halaman khusus media masa, lapangan kerja, pola kreasi dan rekreasi khas masyarakat industri, bahkan in herent dengan faktor-faktor industrial lain seperti transportasi, stage and lighting system, dokter dan psikologi, hizib para kiai, jopa-japi para dukun, dan seribu satu faktor lagi yang tak bisa disebut satu persatu.

Kalau anda bicara globalisasi berarti memperbincangkan peralihan kehidupan masyarakat dari pola budaya tradisional agraris menuju pola modern industrial. Itulah substansi utama globalisasi. Apakah anda menemukan perbedaan antara sepakbola agraris dengan sepakbola industrial??

         Kita selalu menyebut bahwa sepakbola adalah olah raga rakyat. Itu artinya sepakbola adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Dalam sepak bola tradsional agraris, para pemain mengandalkan bakat alam, intuisi, insting dalam dimensinya yang paling natural. Cara pengelolaan persepakbolaan juga lebih berupa paguyuban, kurang mengenal managemen keorganisasian modern profesional, tak ada division of labour yang ketat, belum bussines oriented. Target-target persepakbolaannya juga belum menomorsatukan prestasi, melainkan fungsi partisipatorisnya dalam kehidupan masyarakat : persahabatan, keakraban, meskipun kadang-kadang diungkapkan dalam bentuk tawuran.

      Kita sebut aja ia sepak bola kultural. Seolah-olah kesenian hidup yang diasyiki seperti ludruk, ketoprak, terbangan dan hadrah serta pada sebagaian masyarakat juga teplek dan main dadu.

      Kemudian anda tidak bisa mempertahankan pola itu ketika secara serentak kita bersepakat untuk berangkat modern. Tatanan masyarakat telah berubah. Perhatian manusia juga mulai lebih ekonomistis.

       Ketrampilan kaki seorang pemain bola adalah faktor produktif dan dunia persepakbolaan itu sendiri adalah pasar dan lahan konglomerasi. Jutaan pecandu sepak bola harus juga menyadari dan membeli tiket, bahwa posisi industrial sepak bola pararel dengan musik rock,  dangdut atau bentuk showbiz yang lain. Dengan kata lain, pada masyarakat tradisional agraris, subtansi persepakbolan adalah nilai budaya, sedangkan pada masyarakat modern industrial, subtansinya adalah nilai ekonomi.


     Akan tetapi, masyarakat kontemporer Indonesia adalah masyarakat transisional. Masyarakat yang sedang beralih : sebelah kakinya mulai berpijak di "masa kini", sementara kaki yang lainnya  masih mengasyiki "masa silam". Dan berhubung proses transformasi persepakbolaan kita tampaknya tidak sungguh-sungguh disadari, maka kondisi berpijaknya juga masih rancu, overlap disana-sini. (bersambung). 

©[EAN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar