Selasa, 17 Maret 2015

POJOK CAK NUN : GELANDANGAN DI KAMPUNG SENDIRI


K
ALAU ANDA punya bakat dan kebiasaan untuk memperdulikan masalah-masalah sosial, dan kalau anda suka menggunakan istilah kaum tertindas, golongan yang dilemahkan atau muztazh'afĂșn -maka salah satu "anggota" dari kelompok yang nasibnya mengenaskan itu, dewasa ini adalah sutradara-sutradara film dan artis tertentu.

photo by harjuno
       Saya pakai "tertentu", karena tentulah tidak semua sutradara film kita nelongso  nasibnya.

     Dunia film selalu membuat kita mengasosiasikan dunia glamor, gemerlap, serba uang dan kemewahan. Tetapi jumat malam lalu di Yogya disamping kiri saya duduk seorang sutradara film yang rambutnya putih panjang, celana jeansnya mungkin sudah dua minggu tak ganti, kaos dan rompinya setara kostum para pekerja kasar. Sementara disebelah kiri saya duduk seorang bintang film yang cukup terkenal yang mukanya berkeringat, rambutnya panjang tampak tak pernah sungguh-sungguh sempat disisir, dan terutama bibirnya yang sama sekali tak pakai gincu dan wajahnya yang tak dipupuri sama sekali.

    Dua orang ini sedang memimpin rombongan ngamen film hasil karya mereka. Layar ditancapkan di halaman sebuah gedung, penonton datang tanpa tiket, kemudian dipersilahkan untuk memberi uang atau tidak. Saya nimbrung disitu karena seusai pemutaran film, diselenggarakan semacam sarasehan kecil dengan penonton dan saya diminta memandu lalu lintas yang berlangsung.

       Mereka berkeliling ngamen sudah setahun lebih. Mereka bekerja keras, bahkan ekstra keras menangani sampai hal-hal yang paling kasar. Dari kota ke kota, dari daerah ke daerah. Melayani, dengan kesabaran tapi juga kadang kegeraman. Berbagai kompleks persoalan dilapangan yang menyangkut penonton, birokrasi, teknis pemutaran film dan apa saja.

       Bahkan bintang film wanita yang nglukruk  di kiri saya beberapa kali "ditawartubuhnya oleh orang yang punya power sebagai bayaran agar ngamen mereka bisa berjalan lancar. Tentu saja adik manis kita ini bukan saja marah besar, tetapi juga menangis sangat keras jiwanya. Belum lagi merasakan pusingnya menghadapi para eksploitator dan manipulator otoritas.

     
   Tidak sedikit pekerja film yang bernasib seperti mereka. Ada yang mandul karena secara keseluruhan industri perfilman nasional memang sedang mengalami titik nadir.  Ada yang karena hegemoni sistem dan birokrasi yang menguntungkan monopoli pedagang dan film asing. Dan secara global dunia film kita memang ibarat benih tanaman yang tidak memperoleh tanah dan rabuk yang memungkinkan ia bertumbuh maksimal. Alhasil film Indonesia dalam berbagai segi, ibarat manusia yang menjadi gelandangan di rumahnya sendiriMisalnya, yang menyangkut faktor kultur politik. Anda tahu kesenian harus jujur : segala persoalan hidup ini diangkat secara apa adanya, adil dan obyektif. Tapi bagaimana mungkin anda membuat film di Indonesia yang menunjukan bahwa -misalnya- polisi, tentara, bupati, gubernur, eksistensi sistem itu sendiri, bisa juga salah?? Tidak bisa. Dalam film Indonesia, penguasa itu can do no wrong.  Penguasa tak mungkin salah, semua polisi dan tentara itu selalu benar. Bahkan tak usah yang penguasa : dokter saja pun pasti baik. Tak ada dokter yang punya kesalahan moral. Yang salah dan harus dikutuk hanya dukun.

          Belum lagi kalau kita berbicara tentang betapa banyaknya realitas masyarakat, negara dan sejarah Indonesia yang tak boleh  diungkapkan dalam film. Sangat banyak kasu ssosial, penyelewengan hukum, kesewenang-wenangan kekuasaan, ketidakadilan perekonomian, dan banyak lagi, yang tak mungkin anda skenariokan untuk pembuatan film.
    
     Kita mengalami suatu watak sejarah dimana seorang bayi dilarang lahir hanya karena diasumsikan akan menimbulkan keresahan sosial. Anda  bersalah tidak hanya kalau anda menciptakan keresahan sosial. Anda sudah bersalah meskipun baru sekedar dicurigai bahwa anda menimbulkan keresahan sosial. Saya berdoa mudah-mudahan kelak anda dilarang tidur karena dikhawatirkan akan ngelindur  dengan membawa pedang dan kemudian ngamuk.

       Anda dilarang makan, karena jangan-jangan gizi yang anda masukkan ke tubuh anda akan anda pakai untuk memukuli tetangga. Anda dilarang kencing karena dikhawatirkan air kencing anda mengandung virus tertentu yang dapat membahayakan lingkungan. Tetapi pada saat yang sama, kalau anda sendiri melontarkan kecurigaan yang sama dan cara berpikir yang sama, maka anda akan dituduh bersalah.

       Dalam situasi seperti itu hanya seorang kreator film yang jenius yang bisa melahirkan film besar. Selebihnya terbagi dua. Yang pertama mengikuti arus pendangkalan manusia dan kebudayaan demi nafkah anak istri. Yang kedua menjadi gelandangan seperti dua orang yang saya dampingi itu.

     Dan nanti, pada FFI 1992, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan bisa diandalkan Secara kualitatif, bahkan secara kuantitatif saja pun, festival itu terasa dipaksakan.

     Namun untunglah, itu sekedar contoh dari titik busuk sejarahyang memang harus kita lalui untuk menuju musim semi baru kehidupan bangsa kita beberapa tahun sesudahnya.


 [© EAN]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar