K
|
ALAU ANDA punya bakat dan kebiasaan untuk memperdulikan
masalah-masalah sosial, dan kalau anda suka menggunakan istilah kaum tertindas,
golongan yang dilemahkan atau muztazh'afĂșn -maka salah satu
"anggota" dari kelompok yang nasibnya mengenaskan itu, dewasa ini
adalah sutradara-sutradara film dan artis tertentu.
![]() |
| photo by harjuno |
Saya pakai "tertentu", karena tentulah tidak semua sutradara
film kita nelongso nasibnya.
Dunia film selalu membuat kita mengasosiasikan dunia glamor, gemerlap,
serba uang dan kemewahan. Tetapi jumat malam lalu di Yogya disamping kiri saya
duduk seorang sutradara film yang rambutnya putih panjang, celana jeansnya
mungkin sudah dua minggu tak ganti, kaos dan rompinya setara kostum para pekerja
kasar. Sementara disebelah kiri saya duduk seorang bintang film yang cukup
terkenal yang mukanya berkeringat, rambutnya panjang tampak tak pernah
sungguh-sungguh sempat disisir, dan terutama bibirnya yang sama sekali tak pakai
gincu dan wajahnya yang tak dipupuri sama sekali.
Dua orang ini sedang memimpin rombongan ngamen film hasil karya
mereka. Layar ditancapkan di halaman sebuah gedung, penonton datang tanpa tiket,
kemudian dipersilahkan untuk memberi uang atau tidak. Saya nimbrung disitu
karena seusai pemutaran film, diselenggarakan semacam sarasehan kecil dengan
penonton dan saya diminta memandu lalu lintas yang berlangsung.
Mereka berkeliling ngamen sudah setahun lebih. Mereka bekerja keras,
bahkan ekstra keras menangani sampai hal-hal yang paling kasar. Dari kota ke
kota, dari daerah ke daerah. Melayani, dengan kesabaran tapi juga kadang
kegeraman. Berbagai kompleks persoalan dilapangan yang menyangkut penonton,
birokrasi, teknis pemutaran film dan apa saja.
Bahkan bintang film wanita yang nglukruk di kiri saya
beberapa kali "ditawar" tubuhnya oleh
orang yang punya power sebagai bayaran agar ngamen mereka bisa berjalan lancar.
Tentu saja adik manis kita ini bukan saja marah besar, tetapi juga menangis
sangat keras jiwanya. Belum lagi merasakan pusingnya menghadapi
para eksploitator dan manipulator otoritas.
Tidak sedikit pekerja film yang bernasib seperti mereka. Ada yang
mandul karena secara keseluruhan industri perfilman nasional memang sedang
mengalami titik nadir. Ada yang karena hegemoni sistem dan birokrasi yang
menguntungkan monopoli pedagang dan film asing. Dan secara global dunia film
kita memang ibarat benih tanaman yang tidak memperoleh tanah dan rabuk yang
memungkinkan ia bertumbuh maksimal. Alhasil film Indonesia dalam berbagai segi,
ibarat manusia yang menjadi gelandangan di rumahnya sendiri. Misalnya, yang
menyangkut faktor kultur politik. Anda tahu kesenian harus jujur : segala
persoalan hidup ini diangkat secara apa adanya, adil dan obyektif. Tapi
bagaimana mungkin anda membuat film di Indonesia yang menunjukan bahwa
-misalnya- polisi, tentara, bupati, gubernur, eksistensi sistem itu sendiri,
bisa juga salah?? Tidak bisa. Dalam film Indonesia, penguasa itu can do no wrong. Penguasa tak
mungkin salah, semua polisi dan tentara itu selalu benar. Bahkan tak usah yang
penguasa : dokter saja pun pasti baik. Tak ada dokter yang punya kesalahan
moral. Yang salah dan harus dikutuk hanya dukun.
Belum lagi kalau kita berbicara tentang betapa banyaknya realitas
masyarakat, negara dan sejarah Indonesia yang tak boleh diungkapkan dalam film. Sangat banyak
kasu ssosial, penyelewengan hukum, kesewenang-wenangan kekuasaan,
ketidakadilan perekonomian, dan banyak lagi, yang tak mungkin anda skenariokan
untuk pembuatan film.
Kita mengalami suatu watak sejarah dimana seorang bayi dilarang lahir
hanya karena diasumsikan akan menimbulkan keresahan sosial. Anda bersalah tidak hanya kalau anda menciptakan
keresahan sosial. Anda sudah bersalah meskipun baru sekedar dicurigai bahwa anda
menimbulkan keresahan sosial. Saya berdoa mudah-mudahan kelak anda dilarang
tidur karena dikhawatirkan akan ngelindur dengan
membawa pedang dan kemudian ngamuk.
Anda dilarang makan, karena jangan-jangan gizi yang anda masukkan ke
tubuh anda akan anda pakai untuk memukuli tetangga. Anda dilarang kencing karena
dikhawatirkan air kencing anda mengandung virus tertentu yang dapat membahayakan
lingkungan. Tetapi pada saat yang sama, kalau anda sendiri melontarkan
kecurigaan yang sama dan cara berpikir yang sama, maka anda akan dituduh
bersalah.
Dalam situasi seperti itu hanya seorang kreator film yang jenius yang
bisa melahirkan film besar. Selebihnya terbagi dua. Yang pertama mengikuti arus
pendangkalan manusia dan kebudayaan demi nafkah anak istri. Yang kedua menjadi
gelandangan seperti dua orang yang saya dampingi itu.
Dan nanti, pada FFI 1992, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan
bisa diandalkan Secara kualitatif, bahkan secara kuantitatif saja pun, festival
itu terasa dipaksakan.
Namun untunglah, itu sekedar contoh dari titik busuk
sejarahyang memang harus kita lalui untuk menuju musim semi baru kehidupan
bangsa kita beberapa tahun sesudahnya.
[© EAN]




Tidak ada komentar:
Posting Komentar