Y
|
ang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang
rawan-rawannya bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan. Hari-hari penghancur logika, penjungkirbalikan rasionalitas dan peremuk kejujuran.
Hari-hari dimana pemgetahuan dan ilmu manusia diselubungi kegelapan, atau
sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari dimana manusia, kelompok-kelompok
masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah, bukan saja tidak memiliki akurasi,
kejernihan dan kejujuran dalam menatap hal-hal didalam kegelapan, tapi lebih
dari itu bahkan tidak semakin bisa mereka pilahkan beda antara cahaya dengan
kegelapan.
![]() |
| photo by Harjuno |
Inilah hari-hari dimana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan
alamat kemanusiaannya, alamat ruhaninya, alamat moralnya, lebih dari itu juga
kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan kebudayaan. Inilah
hari-hari dimana standard-standart pengetahuan bersifat terlalu cair, dimana
pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada dirinya sendiri, dimana kepastian
hukum bersifat terlalu gampang dilunakkan dan diubah bentuk maupun subtansinya
sehingga juga sangat gampang kehilangan kepastiannya
Inilah hari-hari dimana makhluk kekal yang bernama rakyat tidak
dipandang sebagai Ibu dari siapapun, melainkan lebih diperlakukan sebagai
anak-anak kecil, yang sangat banyak diantara mereka diperhatikan hanya sebagai
anak tiri yang hampir selalu dianggap potensial untuk bodoh dan bersalah. Inilah
hari-hari dimana makhluk yang bernama politik tidak lagi mengenal dirinya
sebagai anak dari kedaulatan rakyat .Dimana para pelakunya melakukan perjalanan
sejarah yang berpangkal tidak dikepentingan rakyat dan berujung juga tidak di
kesejahteraan rakyat, tanpa kondisi itu disadari oleh subjek-subjeknya.
Para pelaku kedholiman merasa tidak enak terhadap perasaannya
sendiri, sehingga mereka berusaha menutup-nutupinya dengan bungkus kemuliaan dan
label keluhuran, sampai pada akhirnya mereka kehilangan obyektivitas dan
benar-benar percaya bahwa yang mereka lakukan memang bukan kedholiman. Para
pekerja kediktatoran bisa meminta bantuan kepada para pekerja ilmu untuk
menyakinkan diri mereka bahwa itu bukan kediktatoran. Para penerap monopoli,
oligopoli, subyektivisme kekuasaan dan hedonisme keduniaan, bisa dengan gampang
membeli "parfum-parfum" untuk mengubah kebusukan untuk menjadi
seakan-akan berbau harum, sampai akhirnya mereka yakin bahwa yang terpancar dari
diri mereka adalah aroma-aroma harum.
Orang-(orang) yang paling tidak eling dengan
mantap menganjurkan agar orang lain eling. Orang-orang
merasa menjalankan etos waspada, padahal yang diwaspadainya adalah geliat dan
kemungkinan gerak dari musuh-musuh yang mereka ciptakan sendiri : kewaspadaan
bukan lagi kehati-hatian berperilaku dihadapan mata pandang TUHAN, moralitas dan
nurani kemanusiaan. Adapun- siapakah yang sesungguhnya gila, edan dan sinthing di
jaman yang serba kabur dan rabun ini - tatkala hampir setiap 'aku' dan
'kami' telah sedemikian yakin bahwa 'dia', 'kalian' dan 'mereka' yang edan-edan.
Sedangkan para 'dia', para 'kamu', para 'kalian' dan 'mereka' adalah 'aku' dan
'kami' juga bagi diri mereka sendiri?
Inilah hari-hari dimana kejahatan memproduk kebodohan. Dimana
kebodohan, yang bekerja sama dengan suatu jenis kepandaian tertentu, mendorong
terciptanya kejahatan. Dimana kebodohan berdialektika dengan kejahatan
untuk memproses lahir dan berkembangnya destruksi-destruksi sistemik dan
struktural atas bumi, nilai-nilai dan manusia.
Inilah hari-hari sarat penyakit, hari-hari penuh penyakit didalam
diri manusia. Penyakit dalam kalbu, yang merusak pikiran, menyelewengkan energi
mental dan mengikis moral. Penyakit-penyakit yang kita pelihara, kita suburkan,
bahkan kita agung-agungkan, sehingga Tuhan membengkakkannya menjadi
gumpalan-gumpalan besar - karena memang demikian sifat dan kesukaanNya
Penyakit-penyakit dengan omzet ekonomi politik yang tinggi, dengan
mobilisasi total dihampir seluruh wilayah penjaringan kekuasaan, dengan
penekanan-penekanan konstan agar institusi-institusi informasi dan komunikasi
menjadi kepanjangan tangan dari kedholiman, serta kemudian dengan peraihan
sejumlah kambing hitam yang periodik, juga dengan sejumlah sesaji zaman yang
bukan hanya dilabuh melainkan juga dicacah-cacah secara kolektif dalam suatu
atmospher hukum rimba kebudayaan.
Jalanan zaman yang sedang kita lewati sekarang ini adalah jalanan
yang sedang licin-licinnya, namun berserakan batu-batu terjal disana sini. Di
tempat-tempat tertentu yang semula tidak licin, hari-hari ini ia ditaburi
cairan-cairan penggelincir. Jalanan ini menggelincirkan manusia ke berbagai
arah, dimana sebagian dari ketergelinciran itu bersifat global dan kolektif,
tapi pada sebagian yang lain ketergelinciran itu dirancang, direkayasa, dengan
tingkat kecanggihan strategis dan taktis yang gelap dimata para pakar namun
seluruh dunia tak meragukanya.
Jalanan ini licin tidak hanya bagi siapapun saja yang mendambakan
dan mempertahankan tegaknya akal sehat, bagi kejujuran, bagi murninya nurani
dan teguhnya prinsip-prinsip nilai, ia juga licin bagi para penguasanya. Para
pelaku ketidakjujuran tergelincir untuk sedemikian khusyuk menyakini bahwa yang
mereka lakukan adalah kejujuran. Orang-orang yang menghancurkan bangunan moral
didalam diri mereka sendiri, tergelincir untuk percaya bahwa yang mereka
kerjakan adalah kemuliaan dan budi luhur. Orang- orang yang mengangkat
penipu menjadi pahlawan, orang-orang menguburkan para pencinta kebenaran di
kuburan busuk, atau sekurangnya melemparinya dengan batu-batu kutukan, yang
kemudian disusul oleh ribuan pengutuk lainnya yang mengutuk tanpa kegelisahan
untuk bertanya apakah mereka benar-benar memahami apa yang mereka lakukan atau
tidak. Orang-orang mem-blow up kilatan
emas semu dan mentahayulkannya habis-habisan dalam pesta hedonisme
berminggu-minggu, sambil mereka tinggalkan mutiara sejati hanya karena
ia terbungkus oleh kekumuhan dan kebersahajaan.
Inilah hari-hari dimana kekuasaan mustahil untuk dilawan, juga oleh
para penyusun dan pelakunya sendiri. Inilah hari-hari dimana raksasa-raksasa
'Cakil' didoakan oleh berjuta orang agar bersegera menusuk perutnya sendiri dan
memuntahkan ususnya keluar. Inilah hari-hari dimana Suyudana bukan hanya mengaku
Yudhistira, melainkan yakin sepenuhnya bahwa ia memang Yudhistira. Inilah
hari-hari dimana para Dursasana menatap wajah mereka sendiri di cermin dan yang
nampak adalah Bima. Inilah hari-hari dimana Aswatama yang pengecut mendandani
dirinya dengan kostum Arya Setyaki dan membusungkan dadanya karena percaya bahwa
mereka sesungguhnya gagah perkasa. Inilah hari-hari dimana Karna-Karna kecil
menginterprestasikan tradisi penjilatan sebagai perwujudan hutang budi dan
keabsahan nasionalisme. Inilah hari-hari dimana Semar direformasikan dan
direfungsionalisasikan dalam peran-peran yang membuat ruh Semar sendiri
terpingsan-pingsan karena kebingungan.
Inilah hari-hari dimana manusia meletakan dunia, kapital, modal dan
segala sumber daya di tangan kanan, sementara Tuhan, para Nabi, dan agama
digenggam di tangan kiri. Tangan kanan itu mengendalikan dan menjadi pelaku
pergerakan-pergerakan utama dalam sejarah, menjadi pusat negara, dan
pembangunan, kemudian hanya pada saat-saat terpojok dan terancam saja tangan kiri
dibuka, untuk kemudian Tuhan didayagunakan simbol-simbol-Nya untuk menyelamatkan
diri.
Inilah hari-hari dimana manusia membangun kekuasaan dan kekayaan
untuk menindas orang lain, untuk kemudian menindas kemanusiaannya sendiri.
Karena kemanusiaan tidak hanya bersemayam pada rakyat, pada wong cilik, pada
bawahan-bawahan, melainkan juga bertempat tinggal dibadan siapapun saja meskipun
ia menduduki singgasana-singgasana sejarah yang tinggi dan mewah.
Inilah hari-hari dimana konteks yang mempolarisasikan antara
"yang berkuasa" dengan "yang dikuasai" sesungguhnya bersifat
multidimensional, sehingga pandangan
yang hanya memiliki emphasis perhatian
terhadap 'pemerintah dan rakyat ' atau " militer dan sipil" harus
memperbaharui dirinya dan memperluas cakrawalanya. Karena didalam tatanan
struktural sosial dengan sistem kekuasaan politik yang sangat
bersifat kulturalistik, keterkuasaan atau
ketertindasan tidak terletak -sebagaimana yang menjadi isu pokok setiap
pemikiran opposisional selama ini- hanya pada makhluk sejarah yang bernama
rakyat, wong cilik, petani dan kaum buruh, melainkan bisa juga berlaku
pada seseorang prajurit, petugas kepolisian, karyawan sebuah kantor pemerintah,
atau bahkanpun seorang Mayor Jenderal.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar