Senin, 02 Maret 2015

Sudrun Gugat#3

ENGKAU KACA, BUKAN CAHAYA

      APABILA berbicara tentang umat, Sudrun selalu menangis. Sama dengan kalau ia bersujud selewat dua paro malam. Ia melukisi kesunyian malam dengan isakan-isakan tangis. Padahal untuk selain yang dua itu ia tak pernah menangis. Terhadap rasa derita dirinya sendiri Sudrun selalu tertawa. Semakin pribadinya bersedih semakin ia tertawa. Tetapi, setiap kali ia rasakan tangis umat di sekitarnya setiap kali pula tangisnya  berlipat-lipat.

        “Pusatkanlah perhatian dan energi hidupmu kepada umatmu, karena Allah lebih bersemayam di kandungan hati mereka dibanding pada hati pemimpin-pemimpinnya,” katanya terbata-bata karena isakan tangisnya. “Aku tahu itu dan aku bersaksi atas pengetahuanku!”

         Ya ampun. Dia  jongkok meringkuk disisi bilikku.

         “Aku sangat kecewa selama ini.” Ia meneruskan,”karena kamu terlalu asyik memperhatikan dirimu sendiri. Kamu terlalu tenggelam berkonsentrasi pada kebesarannmu, pada perusahaan popularitasmu. Padahal umatmu sangat lapar, amat sangat lapar, tanpa tahu apa yang sesungguhnya ingin mereka makan – dan kamu tidak menunjukkan kepada mereka hal itu. Umatmu sangat merasa kehausan, tanpa mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka reguk, dan kamu tidak menyodorkan minuman yang tepat bagi rasa haus mereka yang telah berkurun-kurun lamanya.”
         
        Sudrun bagai hendak meraung. Dan aku sendiri lebih dari itu  : aku ingin memekik-mekik sekeras-kerasnya untuk menggulung habis seluruh perasaan yang membelit dadaku. Aku ingin badanku meledak, pecah berantakan dan sirna!

BEBERAPA  waktu yang lalu Sudrun mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan beruntun yang membuatku tergagap karena kebingungan, sehingga akhirnya ia jawab sendiri kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu.

“Siapakah kamu?”
Aku menyebut namaku.
“Bukan, bentaknya,” itu hanya namamu. Itu belum tentu kamu!”

Kemudian ia memegangi tanganku, lenganku, pundakku dan seterusnya sambil terus mencecar. “Ini tanganmu, bukan kamu. Ini lenganmu, bukan kamu. Ini pundakmu, bukan kamu. Ini otakmu, bukan kamu. Ini hatimu, bukan kamu. Ini semua bukan kamu, meskipun kamu dan semua orang menyangka ini adalah kamu. Ini semua bukan kamu. Kamu adalah yang memimpin ini semua!

Yang dikerumuni oleh sejuta orang itu juga bukan kamu, bukan namamu, melainkan suara kerinduan di kedalaman jiwa mereka sendiri. Kamu jangan salah sangka, jangan GR, jangan mengambil alih dan memonopoli sesuatu yang kamu sangka kamu dan milikmu. Kamu ini hanya kaca, bukan cahaya. Kamu hanya lempengan pemantul, bukan sumbernya! Kalau orang membungkuk-bungkuk dan menciumi tanganmu. Kamu hanya petugas yang mengantarkan sesuatu yang dikagumi oleh nurani umat manusia. Kalau kamu menyangka bahwa sesuatu itu adalah kamu sendiri, kamu akan hangus terbakar!”

Di hadapan Sudrun, mulutku selalu kelu.

“Kamu ini muslim. Siapa muslim? Muslim adalah manusia yang merelakan dirinya diperkerjakan oleh Allah.  Diperkerjakan bagaimana? Siap menjalankan amanat-Nya. Amanat apa? Serangga-serangga kecil pun diselenggarakan eksistensinya oleh Tuhan dengan mengemban amanat. Ayam diamanati untuk memasok gizi kepada manusia dengan daging dan telurnya. Laba-laba diamanati untuk melindungi Rasul Allah dan Sayid Abu Bakar ketika mereka dikejar oleh pasukan Abu Lahab saat berhijrah. Dan apa amanat untuk kamu??

Ada perbedaan serius antara kamu dan ayam. Ayam langsung menjalani amanat itu tanpa jarak ontologis, tanpa eksplorasi intelektual dan tanpa kreativitas budaya. Laba-laba langsung mengerjakan amanat itu tanpa harus memiliki wawasan yang matang tentang apa yang sedang berlangsung didalam sejarah kemarin, sekarang dan besok. Ular menjalankan amanat itu tanpa kewajiban mengantisipasi dan menemukan determinasi terhadap struktur-struktur permasalahan mikro dan makro komunitas manusia. Dedaunan, akar-akar pohon, sulur di rimba raya, menjalani amanat itu tanpa keharusan berpikir konstan agar menemukan modus gerakan sejarah yang paling efektif. Kalau kamu menjalankan amanat di pundakmu tanpa upaya maksimal untuk merancang gerakan sejarah semacam itu, apa beda antara kamu dengan serangga, ayam, ular dan laba-laba?? Padahal, dibalik amanat itu, Allah telah memberimu fasilitas-fasilitas yang canggih, yakni kesanggupan magnetikmu untuk menyerap sejuta umat serta umat itu sendiri. Umat adalah fasilitas dari Tuhanmu. Umat adalah pemantul amanat-Nya untukmu.”

Itulah Sudrun...apakah kita termasuk yang menyudrunkan diri??







Monggo disruput kopi suzunya lagi.....

#Sudrun_Gugat3
#EAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar