ENGKAU KACA, BUKAN CAHAYA
      APABILA
berbicara tentang umat, Sudrun selalu menangis. Sama dengan kalau ia bersujud
selewat dua paro malam. Ia melukisi kesunyian malam dengan isakan-isakan
tangis. Padahal untuk selain yang dua itu ia tak pernah menangis. Terhadap rasa
derita dirinya sendiri Sudrun selalu tertawa. Semakin pribadinya bersedih
semakin ia tertawa. Tetapi, setiap kali ia rasakan tangis umat di sekitarnya
setiap kali pula tangisnya  berlipat-lipat.
 “Pusatkanlah
perhatian dan energi hidupmu kepada umatmu, karena Allah lebih bersemayam di
kandungan hati mereka dibanding pada hati pemimpin-pemimpinnya,” katanya
terbata-bata karena isakan tangisnya. “Aku tahu itu dan aku bersaksi atas
pengetahuanku!”
        “Pusatkanlah
perhatian dan energi hidupmu kepada umatmu, karena Allah lebih bersemayam di
kandungan hati mereka dibanding pada hati pemimpin-pemimpinnya,” katanya
terbata-bata karena isakan tangisnya. “Aku tahu itu dan aku bersaksi atas
pengetahuanku!”
         Ya
ampun. Dia  jongkok meringkuk disisi
bilikku.
         “Aku
sangat kecewa selama ini.” Ia meneruskan,”karena kamu terlalu asyik
memperhatikan dirimu sendiri. Kamu terlalu tenggelam berkonsentrasi pada
kebesarannmu, pada perusahaan popularitasmu. Padahal umatmu sangat lapar, amat
sangat lapar, tanpa tahu apa yang sesungguhnya ingin mereka makan – dan kamu
tidak menunjukkan kepada mereka hal itu. Umatmu sangat merasa kehausan, tanpa
mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka reguk, dan kamu tidak menyodorkan minuman
yang tepat bagi rasa haus mereka yang telah berkurun-kurun lamanya.”
        Sudrun
bagai hendak meraung. Dan aku sendiri lebih dari itu  : aku ingin memekik-mekik sekeras-kerasnya
untuk menggulung habis seluruh perasaan yang membelit dadaku. Aku ingin badanku
meledak, pecah berantakan dan sirna!
BEBERAPA  waktu yang lalu Sudrun mencecarku dengan
pertanyaan-pertanyaan beruntun yang membuatku tergagap karena kebingungan,
sehingga akhirnya ia jawab sendiri kebanyakan dari pertanyaan-pertanyaan itu.
“Siapakah
kamu?”
Aku menyebut
namaku.
“Bukan,
bentaknya,” itu hanya namamu. Itu belum tentu kamu!”
Kemudian ia
memegangi tanganku, lenganku, pundakku dan seterusnya sambil terus mencecar.
“Ini tanganmu, bukan kamu. Ini lenganmu, bukan kamu. Ini pundakmu, bukan kamu.
Ini otakmu, bukan kamu. Ini hatimu, bukan kamu. Ini semua bukan kamu, meskipun
kamu dan semua orang menyangka ini adalah kamu. Ini semua bukan kamu. Kamu
adalah yang memimpin ini semua!
Yang
dikerumuni oleh sejuta orang itu juga bukan kamu, bukan namamu, melainkan suara
kerinduan di kedalaman jiwa mereka sendiri. Kamu jangan salah sangka, jangan
GR, jangan mengambil alih dan memonopoli sesuatu yang kamu sangka kamu dan
milikmu. Kamu ini hanya kaca, bukan cahaya. Kamu hanya lempengan pemantul,
bukan sumbernya! Kalau orang membungkuk-bungkuk dan menciumi tanganmu. Kamu
hanya petugas yang mengantarkan sesuatu yang dikagumi oleh nurani umat manusia.
Kalau kamu menyangka bahwa sesuatu itu adalah kamu sendiri, kamu akan hangus
terbakar!” 
Di hadapan
Sudrun, mulutku selalu kelu.
“Kamu ini
muslim. Siapa muslim? Muslim adalah manusia yang merelakan dirinya diperkerjakan
oleh Allah.  Diperkerjakan bagaimana?
Siap menjalankan amanat-Nya. Amanat apa? Serangga-serangga kecil pun
diselenggarakan eksistensinya oleh Tuhan dengan mengemban amanat. Ayam diamanati
untuk memasok gizi kepada manusia dengan daging dan telurnya. Laba-laba
diamanati untuk melindungi Rasul Allah dan Sayid Abu Bakar ketika mereka
dikejar oleh pasukan Abu Lahab saat berhijrah. Dan apa amanat untuk kamu??
Ada perbedaan
serius antara kamu dan ayam. Ayam langsung menjalani amanat itu tanpa jarak
ontologis, tanpa eksplorasi intelektual dan tanpa kreativitas budaya. Laba-laba
langsung mengerjakan amanat itu tanpa harus memiliki wawasan yang matang tentang
apa yang sedang berlangsung didalam sejarah kemarin, sekarang dan besok. Ular
menjalankan amanat itu tanpa kewajiban mengantisipasi dan menemukan determinasi
terhadap struktur-struktur permasalahan mikro dan makro komunitas manusia.
Dedaunan, akar-akar pohon, sulur di rimba raya, menjalani amanat itu tanpa
keharusan berpikir konstan agar menemukan modus gerakan sejarah yang paling
efektif. Kalau kamu menjalankan amanat di pundakmu tanpa upaya maksimal untuk
merancang gerakan sejarah semacam itu, apa beda antara kamu dengan serangga,
ayam, ular dan laba-laba?? Padahal, dibalik amanat itu, Allah telah memberimu
fasilitas-fasilitas yang canggih, yakni kesanggupan magnetikmu untuk menyerap
sejuta umat serta umat itu sendiri. Umat adalah fasilitas dari Tuhanmu. Umat
adalah pemantul amanat-Nya untukmu.”
 Itulah Sudrun...apakah kita termasuk yang menyudrunkan diri??
Itulah Sudrun...apakah kita termasuk yang menyudrunkan diri??Monggo disruput kopi suzunya lagi.....
#Sudrun_Gugat3
#EAN
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar