Jumat, 13 Maret 2015

POJOK CAK NUN : Sepak bola "Kafir"


A
DA ANEKDOT tentang orang Madura yang bertugas menjadi penyiar pertandingan sepak bola.  Sebagai santri tulen ia menyesal kenapa PSSI tak pernah becus menyentuh garis konstelasi persepakbolaan dunia. Padahal Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama islam terbesar di muka bumi. Terus terang ia ingin bendera islam berkibar juga di pentas WORLD CUP tahun 2018. (di Russia).

     
 Maka sebagai kompensasi, ia begitu getol memperhitungkan kans kesebelasan negeri muslim  di Asia seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Mesir. Lantas untuk "jurusan" Afrika, Al Jazair dan Maroko serta Kamerun yang akan dia pilih untuk didukung.   
   
   "Jangan khawatir, saudara-saudara!", demikian kata penyiar itu setiap kali meliput kesebelasan "islam", "Tuhan bersama kita! Tuhan tidak akan menolong kesebelasan orang-orang kafir.........!".
     
         Anda tentu bertanya apakah seorang penyiar, artinya dalam fungsinya sebagai wartawan, berhak memihak kepada kesebelasan tertentu? Tidakah ia harus bersifato byektif  dan netral?

      Mustinya begitu. Tapi sayang sekali yang menjadi wartawan tak mungkin makluk selain manusia. Jadi unsur pemihakan, emosi subyektif biasanya selalu tampil betapa pun seseorang telah berusaha menyembunyikannya.
         
     Penyiar-penyiar teve kita setiap kali menyiarkan pertandingan tinju, bulu tangkis atau pun sepak bola yang menyangkut pemain nasional kita, juga selalu berdoa : "Marilah kita semua berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga pahlawan-pahlawano lah raga kita bisa merebut gelar....."
      
       

       Kalau dulu ELLYAS PICAL bertanding, bahka MC Yang bertugas terang-terangan berpihak : ia bukan "petugas panitia", ia adalah "orang Indonesia" dengan fanatisme nasionalismenya. Mungkin demikian jugalah wasit asal perancis pada pertandingan piala dunia tahun 1990, kalau masih ingat. Ketika pertandingan Kamerun versus Argentina, psikologis orang Perancis yang cenderung "look down" dan menganaktirikan orang Afrika. Apa yang dilakukan pemain-pemain Kamerun sehingga diberi kartu merah padahal hanya tackling yang biasa dalam duel sepak bola  : bahkan tidak lebih sadis dibanding dengan yang dilakukan oleh pemain Argentina sesudahnya yang hanya diberi kartu kuning. Maka penyiar madura kita itu berhak hidup dengan subyektivitasnya. Sikap dumeh komentator kita, seperti Eddy Sofyan, pun menyeretnya ke subyektivitisme.


© [EAN]








                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar