DA ANEKDOT tentang orang Madura yang
bertugas menjadi penyiar pertandingan sepak bola. Sebagai santri tulen ia menyesal kenapa PSSI
tak pernah becus menyentuh garis konstelasi persepakbolaan dunia. Padahal Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama islam terbesar di muka bumi.
Terus terang ia ingin bendera islam berkibar juga di pentas WORLD CUP tahun
2018. (di Russia).
|
"Jangan khawatir, saudara-saudara!",
demikian kata penyiar itu setiap kali meliput kesebelasan "islam",
"Tuhan bersama kita! Tuhan tidak akan menolong kesebelasan orang-orang
kafir.........!".
Anda tentu bertanya apakah seorang penyiar,
artinya dalam fungsinya sebagai wartawan, berhak memihak kepada kesebelasan
tertentu? Tidakah ia harus bersifato byektif dan netral?
Mustinya begitu. Tapi sayang sekali yang
menjadi wartawan tak mungkin makluk selain manusia. Jadi unsur pemihakan, emosi
subyektif biasanya selalu tampil betapa pun seseorang telah berusaha
menyembunyikannya.
Penyiar-penyiar teve kita setiap kali
menyiarkan pertandingan tinju, bulu tangkis atau pun sepak bola yang menyangkut
pemain nasional kita, juga selalu berdoa : "Marilah kita semua berdoa
kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga pahlawan-pahlawano lah raga kita bisa merebut
gelar....."
Kalau dulu ELLYAS PICAL bertanding, bahka MC
Yang bertugas terang-terangan berpihak : ia bukan "petugas panitia",
ia adalah "orang Indonesia" dengan fanatisme nasionalismenya. Mungkin
demikian jugalah wasit asal perancis pada pertandingan piala dunia tahun 1990,
kalau masih ingat. Ketika pertandingan Kamerun versus Argentina, psikologis
orang Perancis yang cenderung "look
down" dan menganaktirikan orang Afrika. Apa yang dilakukan
pemain-pemain Kamerun sehingga diberi kartu merah padahal hanya tackling yang biasa dalam duel sepak
bola : bahkan tidak lebih sadis
dibanding dengan yang dilakukan oleh pemain Argentina sesudahnya yang hanya
diberi kartu kuning. Maka penyiar madura kita itu berhak hidup dengan subyektivitasnya. Sikap dumeh komentator kita, seperti Eddy
Sofyan, pun menyeretnya ke subyektivitisme.
© [EAN]


Tidak ada komentar:
Posting Komentar