K
|
ARENA kecurangan feodal juga kemudian: TKI-TKW,
umpamanya, “rakyat yang paling rakyat” lainnya. Kita pandang sebagai faktor
noda dan kehinaan sebagai bangsa. TKW kita jadikan suku cadang utama kalimat
penghinaan atas diri kita sendiri. Kita nyeletuk
dengan hati yang merasa nyaman dan puas: negeri lain mengekspor produk-produk
teknologi bergengsi peradaban tinggi, sementara negara kita mengekspor TKI-TKW.
Dan kita tidak melakukan apapun
yang lain kecuali menghina dan merendahkan TKI-TKW, anak-anak kita sendiri.
Tidak menolong mereka, tidak membela mereka dalam kasus-kasus mengerikan yang
menimpa mereka – sebuah LSM di Jakarta melaporkan sekurang-kurangnya ada 3 juta
kasus TKI-TKW kita di luar negeri tanpa satu pun pernah dibereskan oleh pihak
yang berkewajiban dan digaji untuk pekerjaan dan upah seumur hidup yang antara
lain bertugas melingkupi penanganan nasib TKI-TKW.
Pekerjaan kita hanya menghina
mereka sambil pada saat bersamaan memanfaatkan mereka di rumah tangga kita
masing-masing. Kehidupan sehari-hari rumah tangga kita sangat tergantung pada
mereka, upah yang kita bayarkan kepada mereka adalah jumlah gaji yang tidak
pantas untuk penghidupan manusia, plus bonus penghinaan didalam hati, cara
berpikir dan tradisi perilaku budaya kita atas mereka.
Dengan begitu kita adalah
serendah-rendahnya dan sehina-hinanya manusia, sehingga karena itu pula maka
kita memiliki keperluan untuk menghina mereka. Semakin hina dan rendah jiwa
seseorang, semakin tinggi kebutuhannya untuk memperhinakan sesamanya. Memang
secara psikologis demikian itulah formula
survival kejiwaannya.
Bahkan kalau mereka pulang ke
tanah air, sudah kita persiapkan lembaga dan birokrasi yang khusus melakukan
dua pekerjaan hina. Pertama, menyiapkan terminal dan pintu khusus untuk
memperhinakan mereka. Kedua, policy
untuk memperhinakan diri kita sendiri dengan cara memeras uang jerih payah mereka
bekerja hina bertahun-tahun di negeri orang.
Pemerasan itu berlangsung
eskalatif dari tahap ke tahap resmi maupun liar. Dan puncak kehinaan kita
adalah memperlakukan para koruptor keluar masuk bandara sebagai rahja,
memperlakukan mahasiswa dan pelajar yang membelanjakan uang ke luar negeri
sebagai pahlawan, sementara TKI-TKW yang pulang kampung menguras uang dari luar
negeri untuk sumbangan besar kepada devisa negara – justru kita injak-injak
martabatnya.
.*******.
BANGSA YANG BISA melahirkan
generasi demi generasi hina, memilih dan menjunjung presiden dan
menteri-menteri hina, mengutus dan menggaji perwakilan-perwakilan hina, sambil
menyusu dan memperkerjakan orang-orang yang dihina, menikmati kerja dan makanan
anak-anak terhina itu sambil terus memelihara di hati dan otak hinaan-hinaan
atas mereka.
Pada hakikat kenyataan dan
kenyataan hakikinya, rakyat adalah ibu bapak sejarah yang kita TKI-TKW-kan
sepanjang masa. Rakyat adalah TKI-TKW di genggaman tangan dan dibawah injakan
kaki para pemegang tongkat sejarah, baik tongkat kekuasaan politik, modal,
wacana dan informasi. Rakyat ditipu terus menerus. Yang dibodohi dari era ke
era. Yang dipecundangi dari periode ke periode . Yang namannya disebut,
dikomoditikan, diatasnamakan, oleh setiap yang sedang berkepentingan untuk
menguasai mereka, kemudian melupakan dan melecehkan mereka begitu kekuasaan itu
tergenggam di tangannya.
Yang tidak pernah digubris
hak-hak dasarnya. Yang kemuliaan, posisinya dipakai sebagai mahkota kekuasaan
namun dalam praktek pundak mereka ditunggangi dan kepala harkat demokrasi
mereka dibenamkan ke bagian bawah rendaman cairan liur teori-teori dan
pidato-pidato demokrasi.
Rakyat yang hanya punya satu kegiatan kenegaraan yaitu dikempongi oleh
kekuasaan, gigi-gigi kekuatan sejarahnya dibikin rampal sehingga mulut kedaulatannya
ompong. Rakyat yang bisa dipukuli kapan saja, dikelabui pagi hari, diakali sore
hari, dininabobokan siang hari dan dicuri miliknya malam hari.
#Kyai Bejo_Kyai
Untung_Kyai Hoki


Tidak ada komentar:
Posting Komentar