J
|
adi inilah hari-hari dimana
manusia ter-bumerangi oleh bangunan dan sistem-sistem kekuasaan yang ia ciptakan
sendiri. Jikapun seseorang atau sekelompok orang mendiami dan menggenggam pusat
kekuasaan, itu sama sekali tidak menjamin bahwa ia atau mereka berkuasa atas
sistem yang mereka rekayasa sendiri tersebut. Inilah yang Allah sendiri selalu
memperingatkan : manusia menganiaya dirinya sendiri.
Atau bahkan antara "yang berkuasa" dengan "yang dikuasai" bisa terdapat pada sekaligus
wilayah 'kaum penindas' maupun daerah
'kaum tertindas'. Lebih dari itu,
peta keterkuasaan dan ketertindasan sudah tidak hanya beralamatkan pada geopolitik atau geoekonomi melainkan juga lebih
intrinsik, geopsikologi. Didalam
ruang kemanusiaan setiap orang terdapat potensi negara, potensi militer, potensi
keberkuasaan, sekaligus potensi rakyat kecil, potensi sipil, potensi
ketertindasan. Sebaliknya didalam kosmos negara, kemanusiaan yang tertekan tidak hanya
kemanusiaannya wong cilik, tapi juga mungkin kemanusiaannya seorang jenderal,
seorang bupati, dan lain sebagainya.
Inilah hari-hari kesunyian
manusia dalam negara.
Manusia terasing didalam rumah sejarahnya sendiri. Manusia menciptakan
penjara-penjara politik yang pengap, penjara-penjara ekonomi yang menyesakkan
dan mencambuki punggung, serta penjara-penjara kebudayaan yang wajahnya
gemerlap namun membuat lubuk nuraninya lenyap ke ruang-ruang hampa. Manusia
menciptakan penjara-penjara sampai akhirnya rekayasa-rekayasa untuk mempertahankan
eksistensi penjara-penjara itu menjelma
menjadi penjara tersendiri yang lebih dahsyat kungkungannya.
Sebagian manusia mengasingkan
saudara-saudara sampai mereka sendiri terasing dan kesepian, serta tidak kunjung bisa menjamin bahwa jika
ia melepaskan diri dari kesepian itu keadaan akan lebih baik bagi diri mereka.
Manusia terasing dari produk-produk peradabannya sendiri, karena didalam
bangunan itu kemanusiaan tidak dinomorsatukan, juga kemanusiaan yang terkandung
didalam diri para penguasa itu sendiri. Roda politik menggerakan kereta sejarah
ke cakrawala yang sesungguhnya tidak dikenal oleh gagasan dan filosofi awal
tatkala ilmu politik di lahirkan. Roda ekonomi dan teknologi menggulirkan zaman
ke benua-benua pradaban yang setiap ujungnya membuat rohani manusia-manusia
pelakunya kecele.
Sementara kebudayaan hanya
sanggup menyediakan panggung-panggung joget bagi perasaan-perasaan picisan,
bagi nafsu-nafsu permukaan yang tidak pernah mempertanyakan dirinya, serta bagi
upaya-upaya katarsis kecil-kecilan dan
temporal atau kamuflase dan eskapisme yang penuh berisi omong kosong
yang dibangga-banggakan. Kebudayaan kontemporer memasang gedung-gedung,
pangung-panggung dan layar-layar pertunjukan serta aroma ajojing yang watak dan temanya satu belaka, yakni proses pendangkalan kemanusiaan.
Inilah hari-hari dimana titik
nadir "demokrasi" telah dicapai dengan amat
"sukses", sehingga budaya otoritarianisme
semakin tidak bisa dikontrol, tidak saja oleh lembaga-lembaga kebenaran dan
moral, tapi juga bahkan tidak terkontrol oleh diri para penguasa itu sendiri.
Inilah hari-hari dimana terdapat kerja sama sejarah otomatik antara mereka yang
berkuasa dengan mereka yang tidak berkuasa untuk -sampai batas tertentu-
bersama-sama mentradisikan kepatuhan terhadap sistem kedholiman yang
diciptakan oleh semua pihak secara dialektis.
Inilah hari-hari dimana kita
bisa dengan gamblang menyaksikan terputus dan terbuntunya tugas kebenaran dunia
ilmu dan kaum intelektual dari realitas ke kekuasaan negara. Sehingga
kenyataan-kenyataan runtuhnya akal sehat politik dan kebudayaan bukan saja
tidak bisa diantisipasi, melainkan malah
terkadang malah di-kukuh-kan oleh
lembaga-lembaga ilmu. Karena para pekerja kebenaran ilmu, para pengembara
pengetahuan beserta institusinya, sudah terlalu lama tidak berkeberatan untuk bertempat
tinggal di propinsi sejarah yang tidak memiliki otonomi nilai dan
independensi politik.
Inilah hari-hari dimana agama
semakin terasing dari pemeluknya. Dimana agama tidak disikapi rendah hati oleh
para pelakunya, melainkan dijadikan alat untuk tidak dewasa dan pemarah. Dimana
agama tidak dijadikan samudera ilmu, melainkan dijadikan jimat-jimat beku yang
disimpan, dielus-elus, namun tidak diperkenalkan kepada hakikat realita dan
tidak diterjemahkan kedalam syariat sosial sebagai mana agama itu sendiri
menuntutnya. Dimana agama tidak dijadikan sumur kearifan dan kolam kedamaian,
melainkan dipandei menjadi pisau tajam untuk mengiris-iris hati dan harga diri
sebagai hamba Allah.
Inilah hari-hari dimana agama
tidak digali akurasi moral dan power (akhlâq
dan sulthân) -nya demi mengontrol dan membimbing perilaku kekuasaan,
sehingga nilai-nilai agama justru banyak tersisakan sisi simboliknya belaka
yang dipresentasikan justru pada fungsi legalitas legitimasinya tehadap
perilaku kekuasaan belaka.
Inilah hari-hari semakin tidak
berdayanya kaum seniman dan pekerja kebudayaan terhadap proses dekulturisasi budaya kekuasaan, sehingga mereka sendiri mengalami stress
kekaburan diri, degradasi integritas
sosial serta hanya terpaku pada khayal-khayal subyektif. Inilah hari-hari
dimana kantong-kantong kreativitas dan kemerdekaan mencipta tidak memiliki geografi kongkret, dan hanya terdapa tkandungan
hati dan mentalitas masing-masing seniman dan pekerja kebudayaan.
Inilah hari-hari dimana dua sayap
tugas kaum seniman dan pekerja kebudayaan tiba padam titik mutu terrendahnya. Pertama tugas kreativitas kesenian yang
semakin tidak mengenali seberapa luas cakrawalanya, seberapa tingkat eksplorasi tematik dan fungsi sosial
yang semestinya bisa dijangkau. Kedua
tugas para seniman sebagai warga suatu sistem negara, untuk mengamankan
propinsi kreativitasnya serta wilayah kemerdekaan seluruh rakyat yang menjadi
Ibu kebudayaannya – melalui jaringan perjuangan-perjuangan hukum dan politik-
dan bukan hanya melalui himbauan serta tradisi
mengemis kemerdekaan.

Inilah hari-hari semakin tidak
jernihnya mata pandang lembaga-lembaga informasi dan komunikasi. Para kuli
tinta tidak sempat merenung dan harus berlari cepatdalam keasyikan budaya oplah yang tidak cukup sempat mengontrol
diri dengan (karena semakin tipisnya) tradisi kejernihan ilmiah, serta oleh
skala prioritas moral dalam politik keredaksiannya. Para jurnalis tidak punya
waktu, stamina mental dan kelapangan jiwa untuk selalu mempersegar kembali
standart-standart persepsinya terhadap realitas hidup, terhadap ukuran-ukuran
kualitas makhluk manusia, terhadap skala moral dan kebenaran nilai-nilai.
Inilah hari-hari dimana
jaringan para pelaku budaya tanding, dimana
network kekuatan-kekuatan oposisional dalam sejarah, dimana
segmen-segmen gerakan demoralisasi tidak kunjung sanggup menyembuhkan penyakit
atau mengurangi kelemahan di dalam diri mereka sendiri. Dimana bukan saja tak
kunjung tercapai jaringan kerja sama yang kondusif
dan komplementer simbiose mutualistik
untuk memproses perbaikan-perbaikan
sejarah, melainkan terkadang malah melahirkan langkah-langkah yang counter productive. Dimana sikap
prioritas perjuangan tak kunjung disepakati, dimana psikologisme dan egoisme
antar kelompok tak kunjung bisa disirnakan, serta dimana langkah-langkah
strategis dan taktis tak kunjung dititik-temukan. Dimana "pasukan" demokratisasi masih
banyak dipenuhi oleh ideologicalinter
prejudice, oleh lack of frust serta
oleh terpurukya jaringan pada masalah-masalah –yangs esungguhnya- tidak
prinsipal.
Inilah hari-hari dimana Allah menganugerahimu kesunyian. Dimana Allah mengujimu dengan
hal-hal yang -karena belum tersentuh sungguh-sungguh oleh tangan
kejuanganmu-terasa sebagai duka dan kepiluan. Inilah hari-hari dimana kegelapan
mengepung demi memberimu ilham tentang cahaya. Dimana keedanan memuncak untuk menawar-nawarkan
kepada kewarasan. Dimana kebuntuan-kebuntuan menabrakmu dan mengundangmu untuk
menjebolnya. (end)
[©EAN]
"Semoga kita semakin paham makna demokrasi, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata sehari-hari". (HJ)
















